Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Musik Yus Menembus Langit Paradiso

6 min read

Foto: Ricky Yudhistira

“Bro, apa kabar? Senantiasa sehat ya. Wis beres gendheng omahmu?”

Itulah nukilan pesan dari Yulius Panon Pratomo (Yus) pada saya di WhatsApp pada 15 Oktober 2020. Dia menanyakan kabar demikian karena, harap maklum, saya barusan posting tentang genting rumah yang bocor.

“Aku ingin ngobrol minta bantuan publikasi karya, Bro.”
“Siap. Aku akan share di grup-grup. Namun, aku perlu narasi singkat terkait lirik-lirik lagu tersebut. Satu paragraf pendek saja agar audiens tahu itu video tentang apa dan konteksnya.”
“Oke-oke. Nanti kusiapkan.”

Saat itu, Yus sedang mempromosikan album barunya berjudul Perjamuan Nikah Anak Domba. Album ini ia besut bersama grup musik Nafs-i-gira. Lagu-lagu tersebut ia dedikasikan untuk menyambut hari arwah semua orang beriman pada 2 November. 

Dua hari kemudian, saya mengontak Yus. Daripada sebatas tautan YouTube, pikir saya kala itu, kenapa tidak menuliskan proses kreatifnya melahirkan karya-karya tersebut.

“Panon, aku kepingin menuliskan kisah di balik karya kreatifmu di blogku. Kapan bisa ngobrol bentar? Mau aku pakai untuk merfleksikan kematian orang-orang tercinta: ibu, bapak, simbah, dan teman-teman.”
“Monggo. Dengan senang hati.”
“Suwun.”
“Iki aku lagi mondar-mandir Solo untuk siapkan konser virtual album ini. Untuk mendoakan mereka yang berpulang. Sekalian mengumpulkan donasi bagi pelajar yang enggak bisa ikut sekolah daring karena minim biaya. Sayang pas ibumu meninggal, lagu berjudul Ibu belum jadi.”

Ia menyanggupi saya wawancara. Namun, ia berpesan dan pesan itu sempat diulang dua kali.

“Hanya satu pintaku. Di tulisan, nama singkatku adalah Yus. Pakai nama kecil dan panggilanku kini. Lalu nama lengkap, kutulis Yu(liu)s Panon Pratomo,” ujarnya.

Dia berpesan seperti itu karena saya memanggilnya Panon. Sejak seminari, kami suka memanggilnya demikian. Bahkan, kami punya julukan khusus untuknya: fandol — kalau tidak salah, singkatan dari fanon trondol dengan pengucapan cedal seperti lidah orang Arab.

Pada 29 Oktober 2020, pukul sembilan malam, saya teleponan dengan Yus. Saya merekamnya dengan aplikasi di hape. Ia bercerita banyak hal seputar albumnya. Sambil disertai guyonan ala Merto, suara Yus masih seperti dulu, sedikit parau. Saya dan Yus satu angkatan di Seminari Mertoyudan – masuk tahun 1992 dan lulus tahun 1996. 

Seminaris angkatan 1992 di depan kapel besar Seminari Menengah Mertoyudan. Dokumentasi: Ricky Yudhistira

Album Perjamuan Nikah Anak Domba merupakan renungan atas kematian. Ini berangkat dari pengalaman Yus sendiri menemui kisah-kisah kematian dan rasa kehilangan. “Karya-karya ini sebenarnya lahir dari penerimaan atas kematian. Pertama, kematian mas Putut Pudyantoro. Dua hari sebelum meninggal, mas Putut menelepon saya agar ke Jakarta untuk mengiringi sebuah pernikahan. Saat itu, aku belum bisa menerima kematiannya,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 21 Juli 1977 ini.

Linus Putut Pudyantoro adalah seorang komponis lagu gerejani Katolik. Dua lagu ciptaannya, Bapa Kami dan Persembahan Hati, sering dinyanyikan di misa-misa. Ia meninggal pada Oktober 2017. “Ibaratnya kakiku terluka, namun aku tidak menerima kenyataan bahwa kakiku terluka. Kematian ini aku emohi, ingkari, dan negasi. Aku anggap sosoknya masih hidup dan karya-karyanya masih bisa dimainkan,” imbuh Yus. 

Bertepatan dengan 40 harinya Putut, Yus bertandang ke makamnya. “Di sana, aku bersenandung dalam bahasa Jawa. “…o, Gusti. Welasana Pangeran. Kemudian itu aku tulis namun tak kugarap. Saat itu sebenarnya aku tidak suka menulis tentang kematian ini,” katanya. 

Setahun kemudian, awal September 2018, bertepatan dengan setahun meninggalnya simbahnya, Yus baru menggarap teks itu. Jadilah lagu dengan refren dalam bahasa Indonesia: ampunilah ya, Allah. Terimalah di rumahMu, hambamu yang berpulang.

Kematian ibunya juga membawa Yus pada permenungan mendalam akan kematian. Kemudian lahirlah lagu Ibu sebagai lagu pertama dalam album tersebut. Ibunya, Maria Goretti Dwi Waluyastuti, lahir pada tahun 1953 dan meninggal pada tahun 2005.

“Saya merenungkan kematian ibu dan kematian ini sebelumnya saya tolak. Saya menggarap lagu ini sekitar lima bulan. Ketika menyebut ibu, lidah ini terasa kelu karena dia sudah tidak ada di sini lagi,” katanya. 

Yus belajar cinta dari sosok ibunya. Ia mengaku terpanggil meneruskan teladannya. “Cinta ibu tak meminta balasan. Ibu adalah sosok dalam keluarga yang tidur paling akhir dan bangun paling pagi. Pengorbanan ibu besar dan ia tak pernah ngumukke pengorbanannya. Saat melihat anak-anaknya bahagia, ibu merasa tugasnya rampung dan ikut bahagia,” katanya. 

Yus (paling kiri) bersama mendiang Romo Mangunwijaya, Pr. Dokumentasi: Ricky Yudhistira

Sosok yang menjadi permenungan Yus berikutnya adalah Ignasius Hening Swasono, seorang seniman, perupa, dan dosen seni lukis di Yogyakarta. Salah satu lukisan fenomenalnya adalah Misteri Roti dan Great Sacramento. Ia meninggal pada Oktober 2018. 

“Dari sosok Hening Swasono, aku nulis dan membuat lagu Agar Keindahan Jadi Terang Kehidupan. Saya sangat dekat dengannya. Kadang, kalau saya butuh tidur dan makan, saya datang ke rumahnya. Kalau dia ingin buku berbahasa Inggris, aku membacakannya,” kata Yus.

Sosok perupa kelahiran Purwodadi tahun 1958 ini mengajarinya tentang keindahan. Keindahan itu bukan sekadar sedap dipandang mata. Lebih jauh dari yang nampak di mata, karya itu memancarkan makna.

“Indah itu tak sekadar indah. Indah itu harus memiliki makna. Karya itu selain berawal dari kejujuran, juga harus tampil bagus. Harus ada misi atau sesuatu yang ingin disampaikan dalam karya itu.”

Kematian orang-orang tersebut menyadarkan Yus bahwa mereka hanya berganti baju, mengenakan pakaian serba putih, dan kemudian beranjak pergi. Mereka pulang ke Bapa dengan meninggalkan raga yang mereka pakai berkeringat dalam karya.

“Ada keyakinan bahwa kita berpisah bukan untuk selamanya. Suatu hari, Tuhan menyatukan kita. Lalu keindahan itu menjadi terang kehidupan. Ia memunculkan harapan dan impian. Biasanya, orang yang mengalami keindahan, orang akan merasa dengan berujar: Oh, apik yo. Koyo ning swargo. Di sini, tampak bahwa jarak antara surga dan bumi itu jadi dekat,” katanya. 

Musik Yus juga mewarnai misa-misa requiem maupun ibadah arwah. Yus dua kali ikut mengiringi misa arwah di rumah Jogja. Pada tahun 2015, saya kehilangan tiga orang tercinta: ibu, disusul bapak, lalu simbah putri. Yus dengan flutenya ikut melebur dengan paduan suara. Alunan flutenya membuat misa arwah lebih semarak.

“Aku itu paling suka mengiringi misa requiem. Aku menjumpai suasana berbeda dari rumah ke rumah, dari keluarga ke keluarga,” lanjutnya. 

Yus saat mengiringi misa seribu hari kematian ibu saya di rumah Yogya, 7 April 2018.

Pengalaman kematian orang-orang mengantarkan Yus pada keyakinan bahwa kematian adalah gerbang kehidupan abadi. Misa dan doa-doa membebaskan jiwa-jiwa dari belenggu dunia, dengki, dan kemelekatan lainnya. Kemelekatan itu membuat perjalanan jiwa menuju Tuhan tak mulus.

Yus (tengah paling belakang dengan rambut kriwil-kriwil). Dokumentasi: Ricky Yudhistira

Berpulangnya jiwa kepada Bapa, sambung Yus, digambarkan dengan dua hal: langit bumi baru dan menjadi mempelai Kristus. Ia menyebut Kitab Wahyu 19:7. Ia lebih sreg dengan gambaran kedua. Jiwa manusia akan menjadi mempelai Kristus. Ini yang menjadi pijakan Yus menggarap album Perjamuan Nikah Anak Domba.

Yus merasa diteguhkan dengan pengalaman Florianus Kasiyono yang juga sahabat seangkatan di Merto. Kasiyono pernah cerita tentang mimpi bertemu istrinya yang sudah meninggal. Istrinya, Angela Merici Vivino Vita Sari meninggal pada 28 Mei 2017 setelah berjibaku dengan kanker.

Ia mendapat undangan pernikahan istrinya. Di pesta pernikahan itu, ia melihat istrinya berbusana pengantin serba putih. Sang istri berujar padanya: matur nuwun, nggih Pak, wis teka nang kene – terima kasih, Pak sudah datang di sini. Kasiyono terbangun. Herannya, ia sadar bahwa dalam mimpinya, tidak tampak mempelai laki-laki.

Sampai di titik ini, Yus belum menyadari apa-apa. Cerita selanjutnya datang dari istri Hening Swasono. Katanya, ia bermimpi serupa. Berbusana putih, perupa itu mendatangi istrinya dan minta izin menikah lagi. “Dari cerita kedua ini, aku baru menyadari gambaran hidup kekal. Di sini, kita akan menjadi mempelai Kristus,” ujarnya.

Lagu-lagu bertema kehidupan kekal tersebut memberi harapan dan menguatkan iman orang-orang yang mendengarnya. Suatu hari, seorang teman Yus jatuh sakit. Karena suatu hal terkait terapi, teman itu tinggal sementara di rumah Yus. Suatu saat, ia menemukan teks-teks yang Yus tulis di rumahnya. Kebanyakan teks tersebut dalam not balok dan bukan not angka.

“Ia menemui saya dan mengatakan: sayang sekali kalau teks ini dikenal di lingkungan sekitar sini saja. Teks-teks tersebut, katanya, membantu dia mempersiapkan diri menyambut kematian dengan bahagia. Lalu dalam sebelas hari, aku menulis aransemen lagu ini,” kenang Yus.

Yus bukanlah seorang komponis biasa. Ia piawai dalam menggali makna atas peristiwa-peristiwa biasa dan kemudian mengemasnya dalam bentuk lirik dan lagu. Di masa pandemi ini, misalnya, dia menciptakan Komuni Batin. Saat umat Katolik tak bisa ke gereja dan menerima komuni suci secara fisik, lagu ini meneguhkan mereka bahwa Tuhan tetap hadir dalam komuni meski secara batiniah.

Sebelum menggarap lagu ini, Yus mempelajari lebih dulu Ecclesia de Eucharistia, ensiklik dari mendiang Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik ini diterbitkan pada April 2003 untuk menghidupkan kembali ketakjuban pada Ekaristi. Dua tahun kemudian, tepatnya April 2005, Paus asal Polandia ini wafat. Pada April 2014, Paus yang pernah mengunjungi Indonesia tahun 1989 ini diberi gelar santo oleh Paus Fransiskus. Yus mengaku mengidolakan sosok Karol Wojtyła ini.

Menggeluti dunia musik sudah ia lakoni sejak lama. Sejak duduk di bangku SMP, ia mengaku mulai dolanan alat musik, seperti drumband, pianika, dan organ. “Di seminari, aku baru menekuni musik dan mencoba berlatih menulis teks-teks lagu,” katanya.

Di seminari, kami sama-sama belajar musik. Dia mendalami alat musik organ, saya memilih biola meski banyak keseleo dan akhirnya menyerah. Selain organ, ia menekuni alat-alat musik lain, seperti flute. Dia sosok tekun saat mendalami sesuatu — suka mendekam di kapel untuk berlatih organ. Ia terlibat kegiatan musik di seminari, seperti malam musik seminari (mamuri) yang digelar saban tahun.

Yus (paling belakang samping pintu) sedang memainkan organ. Dokumentasi: Ricky Yudhistira

Pada tahun 1996, lulus seminari menengah, kami berpisah. Dia pergi ke Gisting, Tanggamus, Lampung untuk bergabung dengan Kongregasi SCJ sebagai novis. Mengucapkan kaul pertama tahun 1997. Belajar filsafat dan teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Di perjananan, ia memutuskan keluar dari jalur imamat dan menjadi awam biasa. Ia menikah dengan Elisabet Retno Kawuri Budiman. Sebagai awam, Yus tetap mendalami musik hingga menjadi seniman penuh waktu dengan mendirikan sanggar musik Nafs-i-gira.

“Aku menggarap banyak aransemen musik, entah klasik, musik gereja, dan sebagainya. Sampai anak-anaku lahir, aku namai mereka dengan nama not-not lagu,” kata ayah dari Joseph Pignatelli Mimafiladire dan Mateo Safamiladori.

Pada Senin, 24 Mei 2021, ia dikabarkan hilang sejak Minggu dini hari. Sontak, kabar ini merisaukan grup whatsapp Merto angkatan 92. Sampai kerisauan tersebut berubah menjadi duka mendalam setelah ada verifikasi dari pihak berwenang bahwa Yus ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Penyebabnya masih menimbulkan tanda tanya.

Kami berduka. Kami amat kehilangan. Ia meninggal dua hari menjelang konser virtual bertajuk Bermadah Bersama Maria di Taman Budaya Jawa Tengah.

Yus, nomor dua dari kiri di barisan paling depan dan memangku anaknya saat reuni angkatan pada Desember 2017. Dokumentasi: Vincent Kris

Di pengujung tulisan ini, saya ingin mengaku dosa di depan umum sekaligus meminta maaf sedalam-dalamnya pada Yus. Sesaat membaca berita tentang kematian Yus, saya langsung ingat janji saya padanya seperti saya ceritakan di awal tulisan panjang ini. Saya berjanji menulis tentang kiprah dan sosoknya di baik konser virtual di blog ini. Namun, tulisan tidak segera saya rampungkan. Saya bergegas melihat isi dashboard blog saya dan menemukan tulisan itu masih teronggok sebagai draft dengan judul Musik Yus Menembus Langit Paradiso sejak November 2020. Judul ini saya pertahankan untuk tulisan ini — tak lagi sebagai promosi karya seperti diminta Yus, melainkan obituari menyesakkan dada. Semoga utang saya ini kamu anggap lunas, di tujuh hari kematianmu.

Selamat jalan, Yus. Selamat bermadah bersama malaikat dan para kudus di surga. Semoga keluargamu tetap dikuatkan dalam iman, harapan, dan cinta. Bermadahlah bersama Maria di Mei ini dalam konser surgawi. Semoga sanggar musik Nafs-i-gira makin berkembang dalam madah-madah untuk Tuhan dan membantu jiwa-jiwa letih.

Selamat berkumpul basis dengan Jogie Putranto, Waris Nugroho, dan Ronny Septoro alias Dirjo yang sudah mendahului di sana. Terlebih dengan ibumu, mas Putut, mbak Vita, dan mas Hening yang menjadi inspirasimu. Selamat mengenakan pakaian putihmu. Akhirnya, seperti katamu sendiri: suatu hari, Tuhan akan menyatukan kita.

Rest in Peace.

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Dunia Helena

Sigit Kurniawan
3 min read

Siang Itu Hujan Turun Deras Sekali

Kenangan akan almarhum bapak ibu memang tak ada habisnya. Bermunculan setiap saat dalam ingatan. Salah satunya dalam peristiwa-peristiwa di saat hujan turun deras sekali....
Sigit Kurniawan
2 min read

10 Replies to “Musik Yus Menembus Langit Paradiso”

  1. RIP Mas Yus…..
    Komponis Musik Gereja yang pernah aku kenal……
    Karya-karyamu akan abdi…….
    Selamat jalan Mas Yus menuju rumah Bapa di Surga

  2. Terima kasih mas Sigit sudah tuntas melunasi utang tulisan. Ini obituari yang bagus dan lengkap menceritakan insight dari lagu-lagu yang ditulis mas Yus.

    Semoga kita selalu mengenang mas Yus dengan ingatan akan lagu-lagu ini.

  3. Sangat ikut nerasa kehilangan. Semoga karya2 mas Yus menjadi berkat bagi byk orang, dan penghiburan bagi jiwa2 yg letih.
    Bahagialah di surga, bersama ibu, sahabat2mu, dan para kudus….

  4. Bahagia di surga ya mas..sampaikan salamku dengan ibumu dan ibuku ya mas…

  5. Karya Mas Yus masih tetap ada.Rencananya semua pemikiran dia akan di tampilkan saat ultah almarhum dan sambil berharap kelompoknya masih melanjutkan gagasan besar beliau.Jadi, masih ada kemungkinan berkembang dalam karyanya. Makasih Mas Sigit.Tulisannya jos

  6. RIP Mas Yus… Mrebes mili aku… Salam buat sahabatku, adik kelasku di Sadhar, Mas Putut… Kalian akan selalu kukenang dalam setiap misa.

  7. Mbiyen pas di Seminari, beliau tau udut gudang garam sebatang berdua karo aku. Yus nek udut rada klomoh. Rada jijik juga sakjane rasane. Tapi asik. Semoga bahagia ya Yus ❤️

  8. Bahagia di surga bersama Ibu, om Kadar, Mbahti, Kakung.
    Aku kelingan banget saat bayimu tak wedhaki nganggo Rita. Kulitmu ireng, wedhake putih. Lucu Yus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *