Tak ada yang bisa meremehkan Bantul kalau berurusan dengan kuliner. Tak perlu endorsement dari Anthony Bourdain, Phil Rosenthal, atau artis-artis K-Pop untuk urusan lidah dan perut di wilayah selatan Jogja ini.
Sebelum meluncur ke Jogja, setelah lebih dua tahun tak pulang kampung karena pandemi, saya sudah punya sedikitnya sembilan menu perburuan, dari ayam goreng Mbah Cemplung, Gudeg Yu Djum, sate klathak, bakmi Kadin, soto Kadipiro atau Tamansari, lotek, bakso Jogja, tahu guling, dan sengsu.
Senin siang, 28 Maret 2022, salah satu menu itu berhasil saya eksekusi, sate klathak. Siang itu, kakak saya mengajak nguntal sate kambing Sor Talok. Warung ini berada di Jl. Pramuka, Area Sawah, Trirenggo, Bantul. Sor Talok menyuguhkan menu sate bumbu klathak, kecap, tengkleng, gulai, dan tongseng. Ini warung baru bagi saya karena urusan sate klathak saya biasanya mampir di warung Mbah Momo atau Pak Pong.
Saya pesan satu porsi sate klathak dan semangkuk tongseng. Satu porsi sate berisi dua tusuk sate kambing dengan daging ukuran gede-gede. Tusuknya dengan jeruji besi, bukan bambu, khas klathak. Dicampur bubuk lada putih, rajangan kubis, potongan cabe, timun, dan tomat, membuat rasanya jos sekali.
Warungnya sepoi-sepoi karena di pinggir jalan dengan kanan kiri sawah yang sedang menghijau. Seperti namanya, Sor Talok, warung ini berada di bawah pohon-pohon talok. Talok juga dikenal dengan nama kersen, ceri, atau Muntingia calabura.
Tak perlu berpikir untuk eksis seperti Rene Descartes dengan cogito ergo sum-nya. Namun, cukup datang ke Bantul, duduk dan nguntal sate klathak di bawah wit talok sembari berujar: manduco ergo sum, aku makan maka aku ada.
Siang itu saya habis satu porsi dan kenyang. Anak saya, karena masa pertumbuhan, habis dua porsi dan kemudian kenyang. Tak perlu rakus dengan tiga porsi, apalagi tiga periode.