Penulisan musik sering jatuh pada kisah-kisah gelap, skandal, gosip, kontroversi, dan konflik para musisi dan selebriti. Musik tak diulas sebagai produk seni budaya. Kapasitas jurnalis musik dipertanyakan.
Menulis musik itu menulis tentang manusia. Demikian ujar Taufiq Rahman dalam prakata di buku yang kemudian ditegaskan kembali oleh Idhar Resmadi, penulis buku ini, dalam kata pengantarnya. Pesan pendek ini sangat kuat untuk mewakili tema jurnalisme musik yang menjadi bahasan utama Idhar dalam bukunya setebal 198 halaman tersebut. Jurnalisme dan musik bermuara pada hal yang sama, yakni manusia, ruang, dan waktu.
Yang menarik dari buku ini, selain menjelaskan tentang apa itu jurnalisme musik dan sejarahnya, dalam banyak bahasan, Idhar melakukan koreksi maupun kritik pada media-media musik selama ini. Menurutnya, media musik kita memang butuh tamparan, butuh keberanian untuk mendobrak bahwa banyak hal yang bisa ditulis soal musik. Selain itu, Idhar menyematkan beberapa sentuhan filsafat dan sosiologi, sehingga buku ini tak sekadar informatif, tetapi juga mengantar pembaca menemukan kedalaman di balik fenomena musik.
Bicara soal sejarah jurnalisme musik, Idhar di bab-bab awal mengatakan tren penulisan musik sudah berkembang sejak abad ke-18 dalam bentuk terbitan esai-esai kritik pada musik klasik. Meski demikian, kapan istilah jurnalisme musik atau yang disebut Frank Zappa dengan rock journalism digunakan secara umum tak diketahui secara pasti.
Cikal bakal kritik musik konon dimulai saat Charles Avison (1709-1770), komposer zaman Barok, menulis kritik dalam bentuk buku berjudul A Essay on Musical Expression. Sementara, Melody Maker, sebuah majalah musik asal Inggris yang terbit pada tahun 1926 kemungkinan menjadi media musik pertama. Ulasan mereka lebih banyak mencakup jazz sebelum merambah rock and roll.
Di Indonesia, cikal bakal media musik bermula dari radio NIROM pada masa pra kemerdekaan. Disusul dengan terbitan majalah De NIROM Bode yang berisi musik-musik Barat. Pada tahun 1940, muncul Swing, mingguan yang digagas oleh komunitas jazz Batavia Rhythm Club. Di Malang, muncul majalah musik berbahasa Belanda bernama Caecillia pada tahun 1941. Setelah masa kemerdekaan, muncul majalah Diskorina di Yogyakarta. Pada tahun 1967, terbit majalah Aktuil yang digandrungi anak muda semasanya. Berlanjut dengan media-media yang turut membahas musik, dari Selecta, Monalisa, hingga Hai, Trax, dan Rolling Stone Indonesia.
Masa emas jurnalisme musik baru dimulai pada era 1960-an yang ditandai dengan penerbitan musik dan budaya populer, seperti Rolling Stone, NME, dan Creem. Majalah Rolling Stone yang digagas oleh Jann Wenner dan Ralph Gleason pada tahun 1967 menjadi tonggak penting perkembangan jurnalisme musik.
Pada era ini, di Amerika mulai berkembang band-band yang mengusung semangat perubahan sosial dan digandrungi anak muda. Sejumlah musisi muncul, seperti The Beatles, Bob Dylan, Rolling Stone, maupun Led Zeppelin.
Munculnya jurnalisme musik memang tak lepas dari tren spesialisasi di media. Munculnya spesialisasi media ini didorong oleh demokrasi liberal yang berkembang saat itu. Di Indonesia, misalnya, pertumbuhan industri pers pascareformasi memunculkan banyak media yang fokus mengusung tema-tema beragam, selain politik, hukum, dan ekonomi. Muncullah media olahraga, musik, wisata, lingkungan, fesyen, kuliner, dan sebagainya.
Karena ada unsur spesialisasi, jurnalis musik dituntut menguasai kemampuan dan pengetahuan khusus di bidang musik, baik diperoleh secara formal maupun informal. Seorang jurnalis musik seharusnya memiliki kemampuan spesial dalam menilai dan mengevaluasi musik karena memiliki pengetahuan khusus tentang musik, baik musik sebagai produk intelektual maupun artistik.
Menyitir gagasan Eamon Forde dalam esai Journalism with Difference: Producing Music Journalism (2003), Idhar memaparkan perbedaan jurnalisme musik dan jurnalisme pada umumnya yang menyangkut tiga hal, yakni ruang lingkup redaksi, praktik menulis dan reportase, hingga kedekatan dengan sumber berita.
Sering kali, menurut Idhar, jurnalis musik bermula dari seorang fan yang memang berangkat dari medan sosial musik itu sendiri. Tak heran bila mereka biasanya memiliki genre musik favorit atau band kegemaran. Mereka bisa seorang metalheads, penggemar indie-pop, anak punk, kolektor rekaman, musisi, hingga manajer band (hlm. 45).
Butuh Tamparan
Sekilas menjadi jurnalis musik itu kedengaran mentereng dan mengasyikkan. Mengutip kisah William Miller, jurnalis musik remaja, dalam film Almost Famous (2000), Idhar mengatakan jurnalis musik merupakan pekerjaan impian bagi penggemar musik: bertemu dengan artis, menonton konser di bibir panggung, bertemu deretan bintang rock, mewawancarai personel band, mengikuti tur dari kota ke kota, dan tinggal di hotel mewah bersama para groupies.
Di sini, Idhar mengingatkan bahwa tugas jurnalis musik tidak selalu mudah dan menyenangkan. Mulai dari sini, Idhar membeberkan banyak koreksi pada praktik jurnalisme musik yang keliru. Jurnalis musik biasanya merasakan beragam konflik, pergulatan batin, dan yang paling ditakutkan adalah kehilangan independensi. Independensi ini merupakan prinsip jurnalisme yang tak bisa ditawar. Tanpa independensi, jurnalis musik gampang tergelincir pada fungsi sebagai humas band dengan ulasan-ulasan promosi, komersial, dan sanjungan berlebihan.
Selain itu, menulis musik dalam konteks jurnalisme, orang membutuhkan pengetahuan soal musik, prinsip-prinsip jurnalisme, dan kecakapan menulis itu sendiri. Salah kutip, salah data, salah nama, dan aneka kesalahan lainnya masih sering terjadi dalam tulisan media. Disiplin verifikasi sebagai esensi jurnalisme sering diabaikan oleh penulis. Idhar juga masih menjumpai banyak reportase tentang musisi berlangsung dalam wawancara-wawancara klise dan tak mendalam.
Elvis Costello, seperti dikutip dalam buku ini, kesal dengan kerja para jurnalis musik dengan ungkapan it’s a stupid thing to want to do. Kurt Cobain dengan sinis mengatakan sebagian besar yang ditulis oleh jurnalis musik hanya berisi bualan, omong kosong, gosip, dan sensasi. Bagi Cobain, media musik seolah menjadikan para bintang rock seperti hewan sirkus dan sasaran eksploitasi. Sementara, Frank Zappa nyinyir mengatakan kebanyakan jurnalis adalah orang-orang yang tak cakap menulis, mewawancarai musisi yang tak dapat beropini, untuk pembaca yang tak mengerti musik. Semua omong kosong belaka.
Idhar juga mengutip keprihatinan Ted Gioaia, kritikus jazz, yang mengatakan di situs The Daily Beast bahwa praktik jurnalisme musik tak sekadar tulisan hiburan yang mengedepankan sensasi, kurang dalam, dan sekadar click-bait.
Gioaia menilai tulisan-tulisan musik yang kritis, mendalam, dan memberikan pengetahuan dan wawasan teknis sudah hilang dan digantikan oleh berita-berita tak penting yang ia sebut dengan bieberization of arts journalism. Media-media dalam kategori ini cenderung lebih suka berburu kisah-kisah gelap, skandal, gosip, kontroversi, dan konflik para musisi dan selebriti. Musik tak pernah diulas secara serius sebagai produk seni budaya. Tulisan-tulisan musik pun tidak mencerdaskan pembaca.
Gioaia cenderung pesimistis pada perkembangan jurnalisme musik. Media-media lebih mengandalkan hype, banal, dan hanya menjadi “humas” pelaku industri. Peran-peran kritis media telah hilang. Kritik Gioiaia ditanggapi oleh Mike Powel, penulis Pitchfork, dengan mengatakan pembaca tak membutuhkan tulisan-tulisan musik yang terlalu banyak membeberkan perihal teknik musik dan tetek bengeknya. Seolah mengambil jalan tengah, Idhar menyebut pada akhirnya tulisan musik yang baik adalah ketika si penulis mampu menyampaikan pesannya kepada pembaca. Namun, Idhar menekankan media musik kita memang butuh tamparan. Saya sepakat dengan Idhar karena pada dasarnya dekonstruksi pada praktik jurnalisme musik ini merupakan sebuah konstruksi baru demi praktik yang lebih baik dan seyogyanya.
Oleh karenanya, Idhar mengatakan seorang jurnalis musik membutuhkan modal dasar menulis musik. Mengutip pendapat Remy Sylado, ada tiga modal dasar untuk menulis musik. Pertama, kemampuan pengindraan untuk mendengarkan dan menerangkan secara objektif dengan kata-kata apa yang didengar dan disaksikan dalam peristiwa musik. Kedua, penulis menguasai betul bahasa musik sebab sebagai seni musik juga menyangkut filsafat keindahan. Ketiga, mereka yang menulis musik harus mengerti apa yang ditulisnya. Idhar menambahkan modal penting keempat, yakni kemauan untuk membaca.
Seakan menjawab masalah yang melilit para jurnalis musik, Idhar di bab selanjutnya menyodorkan dua genre penulisan musik, yakni jurnalisme sastrawi dan jurnalisme gonzo. Jurnalisme sastrawi merupakan penulisan berita dengan gaya sastra sehingga tulisan menjadi lebih hidup, menarik, lebih dekat, dan tidak kaku. Gaya reportase sastra ini berpotensi memainkan emosi pembaca. Seperti reportase Gay Talese dari Esquire yang menampilkan sosok Frank Sinatra. Sinatra ditampilkan seperti karakter dalam novel sehingga kisahnya hidup dan memikat. Meski menggunakan gaya fiksi, cerita-cerita tersebut tetap rangkaian fakta yang dipaparkan apa adanya.
Pada tahun 1960-an, pendekatan sastra ini dipakai oleh banyak surat kabar dan majalah di Amerika, seperti New York Herald Tribune, Esquire, Life, Harper’s, Atlanctic, Rolling Stone, The New Yorker. Kemunculannya tak bisa dilepaskan dari tren budaya tanding yang berkembang saat itu, seperti aktivisme kiri baru, environmentalisme, feminisme, hingga antirasialisme.
Muncul nama-nama pelopornya, seperti Tom Wolfe, Truman Capote, Norman Mailer, Gay Talese, dan sebagainya. Di Indonesia, gaya jurnalisme ini diperkenalkan oleh majalah Pantau yang diinisiasi oleh Andreas Harsono pada tahun 2001.
Sementara, jurnalisme gonzo dimengerti sebagai modifikasi bentuk jurnalisme sastra yang lebih “ekstrem.” Jurnalisme ini pertama kali diperkenalkan oleh Hunter S. Thompson. Reportasenya sangat unik karena meleburkan antara fakta dan fiksi. Thompson hadir sebagai bagian dari kisah yang ditulisnya dengan sudut pandang orang pertama. Thompson memasukkan kutipan, kata-kata, termasuk kalimat kasar dan tak senonoh, humor, kadang membesar-besarkan, dan sebagainya. Gaya ini banyak diadopsi oleh penulis generasi berikutnya, seperti Lester Bangs dan Chuck Klosterman.
Di bab selanjutnya, Idhar membahas bagaimana selera musik terbentuk. Di sini, ia merujuk beberapa pandangan filosofis, dari Gottfried Willhelm Leibniz, David Hume, Immanuel Kant, dan Pierre Bourdieu.
Yang menarik, pandangan Bourdieu tentang selera, khususnya bagaimana selera dapat dipandang sebagai suatu kuasa simbolis (hlm. 123). Dari sini, muncul istilah selera “kampungan-gedongan.”
Istilah tersebut muncul ketika terjadi gesekan sosial di antara kelas menengah di Indonesia yang direpresentasikan melalui selera musik pada periode tahun 1960-1970-an. Musik rock dan pop dari Barat dianggap mewakili selera musik gedongan. Sedangkan musik dangdut dan Melayu dianggap representasi selera kaum kampungan. Rock dan pop diasumsikan pada kaum berduit dan terdidik. Sedangkan dangdut pada kaum marjinal, pengangguran, pemabuk, dan musik warung pinggir jalan.
Bila dikaji lebih dalam dikotomi gedongan dan kampungan dan jurnalisme musik tidak lepas dari industri budaya secara umum. Menyitir Theodor Adorno, Idhar di bab awal bukunya menyebut industri budaya merupakan kebudayaan massa yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok elit dari atas ke bawah untuk membedakannya dari budaya rakyat yang tumbuh di akar rumput (hlm. 51). Segelintir elite ini tak lain para pelaku industri musik. Industri budaya memproduksi komoditas budaya, termasuk musik, dengan logika kapital atau motif mencari profit.
Lalu, bagaimana nasib jurnalisme musik ke depannya, khususnya di tengah ingar bingar dunia digital? Masa depan media musik ini diuraikan Idhar di bab-bab terakhir. Tutupnya majalah musik Rolling Stone Indonesia mengejutkan industri media. Disusul majalah musik legendaris asal Inggris NME menghentikan versi cetak dan beralih ke daring. Media massa cetak diklaim sedang memasuki masa akhir. Besarnya ongkos produksi dan operasional ditambah perubahan pola konsumsi berita masyarakat ke arah digital dianggap sebagai penyebabnya. Saat media arus utama berguguran, Idhar melihat zine dan media alternatif menggeliat di ranah subkultur.
Namun, Idhar tampaknya memiliki pandangan optimistis bahwa jurnalisme musik tidak akan mati. Medianya saja yang berubah, bukan jurnalisme dan kritik musik. Baginya, kunci media termasuk media musik bertahan di kompetisi antarmedia adalah terus berinovasi. Caranya dengan mengawinkan produk jurnalisme dengan teknologi media. Jurnalisme musik tidak akan hilang. Ia hanya berubah format dan cara untuk hadir di depan audiens.
Secara umum, Idhar sukses menyampaikan gagasannya secara runtut dalam bab-bab yang saling berkesinambungan, dengan penyampaian renyah tapi mendalam, dan menyertakan infografik yang sangat membantu pembaca memahami dengan mudah tahapan jurnalisme musik dari masa ke masa.
Judul: Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya Penulis: Idhar Resmadi Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Cetakan: I, September 2018 Tebal:xvii + 198 hlm