Komunitas LGBT masih mengalami penolakan dan diskriminasi di mana-mana, termasuk di gereja sendiri. Ruang perjumpaan bagi Gereja Katolik dan Komunitas LGBT dibutuhkan.
Belum lama ini, dunia maya diramaikan oleh netizen yang mengecam podcast Deddy Corbuzier karena ia menghadirkan pasangan LGBT dalam salah satu episodenya. Usai menuai kecaman dan boikot, pemilik podcast Close the Door itu buru-buru menghapus tayangan tersebut. Peristiwa ini menandakan bahwa hingga hari ini orang-orang LGBT masih mengalami penolakan dan diskriminasi.
Diskriminasi dan penolakan itu juga banyak terjadi di lingkungan Gereja Katolik. Mereka, para LGBT, menjadi kelompok paling terpinggirkan. Keprihatinan inilah yang menjadi salah satu hal yang menggerakkan James Martin, SJ, seorang imam Jesuit dan editor umum majalah America: The Jesuit Review, menulis buku Building a Bridge: How the Catholic Church and the LGBT Community Can Enter into a Relationship of Respect, Compassion, and Sensitivity (2018).
Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ledalero dan komunitas transpuan Fajar Sikka dengan judul Membangun Ruang Perjumpaan Bagi Gereja Katolik dan Komunitas LGBT.
Penulisan buku ini juga dilatarbelakangi oleh peristiwa mengerikan yang menimpa komunitas LGBT di banyak tempat. Salah satunya, ia menyebut tragedi kemanusiaan pada musim panas 2016 saat seorang bersenjata api menembaki secara brutal kelab malam di komunitas gay di Orlando, Florida, Amerika Serikat (AS). Sedikitnya 49 orang tewas dalam insiden brutal itu.
Di Indonesia, gelombang homophobia juga tak kalah mengerikan. Dalam kata pengantarnya khusus edisi bahasa Indonesia, Martin mengatakan meski tak terjadi penembakan seperti di AS, LGBT mendapat kecaman dan perlakuan tak adil.
Ia mengutip survei Tempo dalam edisi 5-11 Feb 2018 berjudul Mengapa LGBT Dimusuhi? yang menunjukkan 60% responden menganggap LGBT tak memiliki hak hidup di Indonesia, hampir 90% mempersepsikan kelompok LGBT sebagai ancaman, dan hanya 49% menilai pemerintah wajib melindungi kelompok ini.
Di lain hal, muncul persepsi keliru bahwa LGBT selain dikaitkan dengan “ketidaknormalan dan pelanggaran moral” juga diidentikkan dengan “budaya Barat, subversi pada Indonesia, ancaman pada identitas dan nilai-nilai luhur.
Di tengah situasi seperti itu, pemimpin Gereja Katolik di AS dan Indonesia umumnya diam dan tak bersuara. Martin menyadari diamnya banyak orang Katolik di Indonesia sebenarnya tak mengejutkan sebab orang Katolik hanyalah 3% dari populasi Indonesia. Namun, tak menutup kemungkinan, kebungkaman ini terjadi karena mereka tak tahu apa yang mesti dikatakan dan bagaimana mengatakannya.
Harus diakui hal ini tak gampang mengingat isu LGBT masih merupakan persoalan pelik untuk dibicarakan, khususnya ketika sudah menyangkut perilaku seksual dan pernikahan sesama jenis. Martin menulis, bagaimanapun saat ini Gereja Katolik sangat keras menentang pernikahan sejenis.
Namun, meminggirkan dan mendiskriminasi mereka yang LGBT bukanlah ciri gereja. Martin mengingatkan ajaran dalam Katekismus Gereja Katolik yang jarang diketahui umat Katolik yang mengatakan memojokkan dengan salah satu cara yang tidak adil pada kaum homoseksual harus dihindari dan mereka harus diperlakukan dengan sikap hormat, bela rasa, dan kepekaan. Ia juga mengutip pernyataan Paus Fransiskus dalam nasihat apostoliknya berjudul Amoris Laetitia yang menegaskan pertama-tama orang LGBT harus dihormati martabatnya.
Martin mengingatkan lagi pada ajakan Yesus untuk selalu berpihak pada mereka yang lemah dan disingkirkan. Orang LGBT Katolik juga merupakan umat yang dikasihi Allah. Apalagi, seperti ditegaskan John Mansford Prior, SVD dalam pengantar buku ini bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukan pilihan, tetapi ditemukan oleh masing-masing orang.
Martin sependapat dengan John Prior bahwa tujuan terdalam dari Gereja bukanlah untuk mempertahankan doktrin, melainkan melanjutkan karya Yesus di dunia ini. Karya apa? Menjangkau semua orang yang terpinggirkan, mendengarkan mereka, memperlakukan mereka dengan belas kasih, dan membela mereka ketika mereka berada dalam bahaya.
Memang gampang sekali melawan pernikahan sesama jenis karena bertentangan dengan pandangan tradisional mengenai pernikahan. Namun, sangat sulit untuk berargumen bahwa Yesus tidak menerima mereka yang terpinggirkan. Semangat Yesus dalam membangun budaya perjumpaan inilah yang digarisbawahi oleh Martin dalam bukunya.
Jembatan Dua Arah
Buku ini sengaja menghindarkan isu-isu moralitas seksual karena Martin lebih mengedepankan dialog dengan berfokus pada bidang-bidang yang memungkinkan kesepahaman. Toh, buku ini tidak dimaksudkan untuk menantang atau apalagi menentang ajaran Gereja Katolik. Ini dilakukan mengingat hingga saat ini, terkait persoalan moral seksual, hierarki gereja dan komunitas LGBT masih berada pada posisi berseberangan.
Oleh karenanya, butuh sebuah jembatan dua arah dan mengantar kedua belah pihak pada suatu ruang perjumpaan. Di ujung jembatan satu, gereja melangkah untuk menjumpai kaum LGBT dan di ujung lain, kaum LGBT Katolik melangkah untuk menjumpai gereja. Secara umum, Martin menegaskan bahwa bukunya lebih tentang dialog dan doa, bukan teologi moral.
Dalam proses membangun jembatan ini, Martin mengatakan institusi gerejalah yang memikul tanggung jawab utama untuk pelayanan dialog dan rekonsiliasi. Alasannya, instiusi gerejalah yang membuat kaum LGBT Katolik merasa tersingkirkan, bukan sebaliknya. Banyak orang LGBT Katolik yang bercerita ke Martin bahwa mereka merasa terlukai oleh institusi gereja, seperti tak diterima, diasingkan, dan dihina.
Selain itu, fakta yang tak kalah menarik, banyak kaum LGBT meninggalkan gereja, sebagian besar karena merasa sejumlah pemimpin gereja munafik dalam mengkritisi aktivitas seksual kaum LGBT, sementara memalingkan wajah dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh para imam.
Sikap Hormat, Bela Rasa, Kepekaan
Lalu, apa saja prasyarat membangun jembatan dua arah tersebut? Martin mengajak kita kembali ke ajaran Katekismus Gereja Katolik (No. 2358) dengan memperlakukan manusia LGBT dengan tiga kriteria di jantung pelayanan Kristen: sikap hormat, bela rasa, dan kepekaan. Karena konteksnya jembatan, ketiga prinsip itu harus dilakukan oleh dua belah pihak, yakni gereja dan komunitas LGBT. Konsep jembatan ini dimaksudkan untuk mengakhiri cara pandang dan mentalitas “kita” dan “mereka” dalam gereja.
Terkait sikap hormat, Martin mengatakan bentuk paling sederhana adalah mengakui eksistensi komunitas LGBT. Komunitas ini hadir secara nyata di tengah-tengah kita. Pengakuan bahwa orang LGBT Katolik itu ada memiliki implikasi pastoral penting. Komunitas LGBT juga harus menjadi agenda pastoral gereja seperti layanan pastoral ke komunitas-komunitas lainnya.
Sikap hormat juga berarti memanggil suatu kelompok dengan cara mereka minta dipanggil. Di sini, gereja juga dipanggil untuk menyebut mereka LGBT dan menyingkirkan sebutan yang memarginalkan dengan “mengalami ketertarikan sesama jenis.”
Asal tahu saja, Fransiskus merupakan Paus pertama yang menggunakan kata “gay” di depan umum. Lagi pula, bagaimana mungkin komunitas LGBT dapat mendengarkan bila gereja bersikukuh untuk menggunakan bahasa yang menyinggung mereka?
Sikap hormat berarti pula menyadari orang LGBT Katolik membawa karunia khusus bagi gereja, baik secara individual maupun komunitas. Banyak orang LGBT mengalami salah paham, prasangka, kebencian, penganiayaan, dan bahkan kekerasan sejak muda, dan karenanya mereka memiliki bela rasa alamiah pada yang tersisih. Bela rasa mereka adalah karunia. Demikian juga, kegigihan dan pengampunan mereka adalah karunia.
Martin menambahkan, karunia itu juga datang dari para imam dan bruder yang gay atau suster yang lesbian yang menghayati hidup selibat dan melayani Tuhan dengan tulus (hlm. 25), meskipun hampir tak ada dari mereka yang karena banyak faktor mengungkap seksualitasnya secara terbuka.
Martin menambahkan sebagai umat Allah, LGBT Katolik juga dipanggil menuju kekudusan. Ia bilang, kita perlu memperhatikan kenyataan bahwa beberapa santo/santa mungkin juga gay, lesbian, atau biseksual. Dan, kekudusan ini berumah dalam kemanusiaan. Di era sekarang, Martin menyebut beberapa orang LGBT yang menunjukkan laku kesuciannya. Michael Judge OFM, misalnya, seorang Fransiskan yang menjadi pelayan rohani bagi pemadam kebakaran dan pahlawan pada serangan 9/11. Juga dengan Henry Nouwen, imam Belanda yang terkenal dengan buku klasiknya Kembalinya Si Anak Hilang yang sangat membantu jutaan pembacanya. Keduanya adalah LGBT.
“Gay bukanlah dosa dan bagaimanapun Pater Judge tetap memegang kaul keperawanannya dan Pater Nouwen memegang janji selibatnya,” tulis Martin.
Lalu, bela rasa seperti arti dalam kata Yunani, berarti “mengalami bersama” atau “menderita bersama.” Di sini, institusi gereja bukan hanya menghormati LGBT Katolik, melainkan juga hadir bersama mereka, mengalami kehidupan bersama mereka, dan menderita bersama mereka. Dan, syarat pertama dan paling penting bagi bela rasa adalah kesediaan untuk mendengarkan.
Sementara, kepekaan merupakan kesadaran atau pemahaman atas perasaan orang lain. Ini terkait dengan panggilan Paus Fransiskus pada gereja agar menjadi gereja yang berjumpa dan menemani. Mengenal dan menjumpai menjadi kata-kata kunci.
“Anda tidak dapat peka pada komunitas LGBT jika Anda hanya menerbitkan dokumen mengenai mereka, berkotbah mengenai mereka, tweet mengenai mereka, tanpa mengenal mereka.” (hlm. 46).
Di sisi lain, sikap hormat, bela rasa, dan kepekaan juga perlu dibangun oleh komunitas LGBT pada gereja. Mau tak mau ini diperlukan karena konteksnya adalah jembatan perjumpaan. Jadi, harus ada upaya kedua belah pihak untuk melangkah maju untuk berjumpa. Mungkin, kata Martin, ini kedengaran menantang mengingat penderitaan besar yang dialami orang LGBT di gereja selama ini.
Sikap hormat ditunjukkan dengan mengakui gereja dengan institusi, otoritas, hukum, dan ajarannya. Bela rasa ditunjukkan dengan memberikan waktu pada gereja untuk saling mengenal, mendoakan gereja, dan memahami suka duka pelayanan gereja. Kepekaan juga sama, ditunjukkan dengan mau menjumpai dan memahami apa yang diyakini dan diajarkan oleh gereja. Dan, penyelenggaran Ilahi, dalam hal ini Roh Kudus, menjadi penopang proses membangun jembatan tersebut.
Buku ini secara umum sangat penting untuk dibaca siapa saja, khususnya mereka yang ingin membangun kesetaraan gender dan seksualitas. Gaya bahasa yang populer, yang jadi ciri khas Martin, ditambah dengan narasi-narasi perjumpaan konkret dengan komunitas LGBT yang ia layani, dan pertanyaan-pertanyaan refleksi, menjadi kekuatan buku ini.
Harapannya, buku ini tak hanya dibaca dan menjadi pegangan pejabat dan pelayan gereja, tetapi juga umat awam seperti orangtua hingga pendidik dan bahkan umat agama lain untuk menerima dan merangkul orang-orang LGBT.
Martin percaya, agama semestinya membebaskan, bukannya menindas; mendorong orang untuk merangkul dan bukannya memukul; mewartakan cinta dan bukannya kebencian.
Dan, seperti dikatakan Paus Fransiskus: “Jika seorang adalah gay dan mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapakah saya untuk menghakiminya?”
Judul: Membangun Ruang Perjumpaan Bagi Gereja Katolik dan Komunitas LGBT Penulis: James Martin SJ Penerjemah: Antonius Sumarwan SJ Penerbit: Penerbit Ledalero, 2022 Tebal: xxxi + 174
_______________
*Resensi ini sudah diterbitkan lebih dulu di website SESAWI pada 15 Mei 2022. Resensi ini juga sudah masuk daftar sumber di situs OUTREACH, bagian America Magazine yang khusus membahas pelayanan Gereja Katolik untuk komunitas LGBT di Amerika Serikat.