“Selamat jalan Helena Dewi Justicia. Perjuangan dan tulisanmu abadi.”
Kutipan di atas ini mencuri perhatian saya. Saat mengikuti misa requiem untuk Helena Dewi Justicia, saya akrab memanggilnya Helen, di rumah duka Rumah Sakit Harapan Kita, Tomang, Jakarta, Senin, 6 Juni yang lalu. Kutipan itu tersemat di karangan bunga dari Yayasan Pantau, tempat ia pernah belajar jurnalisme sastrawi yang diampu oleh Andreas Harsono.
Saya seratus persen setuju dengan kutipan itu. Helen merupakan seorang penulis tangguh. Tulisan-tulisannya bernas, reflektif, jernih, dan kaya spiritualitas. Bahkan, saat berjibaku dengan kanker yang menyerang otaknya, ia masih setia menulis. Catatan-catatan kecilnya mengalir saban hari di Facebook. Entah tengah malam atau dini hari.
Perjumpaan pertama dengan Helen terjadi pada tahun 2002. Pada awal milenium itu, kami terlibat bersama dalam penerbitan Warta Minggu (WM), mingguan yang diterbitkan oleh Paroki Tomang Gereja Maria Bunda Karmel (MBK). Tentu saja, dia lebih dulu di sana. Helen pernah menjadi ketua sie komsos pada periode tahun 2006-2009.
Saat pertama kali bertemu dengan Helen, saya merasa kami satu frekuensi. Kami sama-sama menyukai jurnalisme dan tulis-menulis. Karena masih kinyis-kinyis alias belum lulus kuliah, saya saat itu banyak belajar menulis dari Helen. Dia pernah meminjami saya buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo” (1996) dengan pengantar Goenawan Mohamad. Helen menyarankan saya membaca buku itu.
Dia sarjana sastra dari Universitas Jember, mantan aktivis pers mahasiswa di sana, dan saat itu sedang menekuni psikologi sosial untuk program pasacasarjana di Universitas Indonesia, lulus tahun 2004. Pada tahun-tahun kemudian, ia kesengsem dengan filsafat dan ikut kelas ekstensi di STF Driyarkara.
Ia juga dikenal sangat rakus dengan buku-buku. Modal inilah yang saya yakini membuat tulisan-tulisan Helen lugas, mengena, dan berisi. Tak jarang, tulisannya memuat kisah-kisah personal. Namun semakin personal, nilainya semakin universal. Karena itu, tulisan-tulisannya hampir selalu menyentuh hati siapa saja yang membacanya.
Helen juga seorang aktivis sosial. Di awal-awal perjumpaan kami, dia suka cerita tentang Forum Kemanusiaan (FK), forum sukarelawan yang digawangi anak-anak muda untuk pendidikan anak-anak miskin. Markas FK berada di Kampung Satelit, perkampungan miskin dan kumuh, persis di samping Gereja MBK yang megah.
Jurnalisme Paroki
Masa-masa asyik bersama Helen adalah saat mengelola WM. Kami berupaya mempraktikkan jurnalisme dalam warta paroki ini. Sebisanya warta ini tak menjadi corong satu arah dari dewan paroki ke umat, tetapi juga suara umat agar didengar dewan paroki dan umat lainnya. Tak jarang, kami suka mengkritisi kebijakan paroki. Tulisan-tulisan kami pernah membuat merah wajah pengurus paroki, membawa pergunjingan, hingga berujung teguran. Itu sudah biasa.
Ruang redaksi, saat itu di lantai dua atas aula, kami sulap agar menyerupai ruang redaksi pada umumnya. Helen suka menempel poster, gambar, foto di dinding ruang redaksi. Meski cuma media paroki dan kecil, alur kerjanya sudah mendekati kerja redaksi media pada umumnya. Kami menggelar rapat mingguan, melakukan penugasan liputan, menyunting tulisan, hingga melakukan proofprint di kantor percetakan Gramedia untuk mencek typo dan sebagainya.
Kami suka lembur hingga larut malam dan bahkan diri hari. Helen sangat militan dalam media pewartaan ini. Ia lincah ke sana ke mari dengan katana merah yang ia kendarai sendiri. Nasi goreng Pak Min (almarhum) hampir selalu menemani lembur kami. Juga Habitus dan Nayla, dua anjing betina berbulu hitam gelap. Kedua nama itu pemberian Helen. Habitus pernah terkurung di ruang redaksi, tertidur pulas, dan semua kru lupa membangunkannya. Esoknya, ruang redaksi berantakan, tanda Habitus marah.
Di paroki, Helen sangat supel bergaul dengan siapa saja. Tak sebatas pastor-pastor dan pejabat dewan paroki, tetapi juga dengan satpam, koster, tukang kebun, hingga juru masak pastoran. Kedekatan ini membuat Helen dengan lincah membawa suara-suara mereka melalui WM.
WM tak sebatas mengusung berita-berita seputar altar. WM juga bukan sebatas humas dewan paroki. Kami juga meliput penggusuran. Kami menemui umat korban penggusuran di Taman Anggrek tahun 2003. Satu lingkungan digusur. Sebagian kocar-kacir dan sebagian terpaksa mengungsi ke kantor Komnas HAM.
Kami pernah menerbitkan laporan utama tentang komunitas LGBT di kawasan Jakarta Selatan. Kami mewawancarai mereka. Usai terbit dengan sampul bergambar dua lelaki berpelukan, kami mendapat banyak cibiran. Kami juga pernah mengangkat fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di keluarga Katolik.
Begitulah WM kala itu: pewartaan iman itu kami yakini tak sebatas altar dan dogma-dogma. Kami suka tergelak sendiri saat lembur di ruang WM sembari membahas overdosis agama di saat di aula bawah atau di sebelah ruang WM terdengar sorak-sorak orang yang sedang hanyut dalam persekutuan doa. Memang kami suka jahil dan mencandai praktik-praktik hidup menggereja.
Tapi, ya begitulah. Saya ingat klaim Helen bahwa kami dengan enteng “menertawakan” praktik hidup menggereja karena merasa sudah selesai dengan diri sendiri. Dan, tentunya menggereja bukan sebatas kegiatan ritual, liturgis kaku, dan jauh dari humor.
Menggila Bersama
Selama di sie komunikasi sosial bersama Helen, saya banyak belajar tentang menghayati iman yang merdeka dan progresif. Kami pernah membangun bersama forum diskusi bulanan paroki dengan nama Kafe Socrates. Diskusi ini bertujuan untuk memberi warna kritis pada cara dan kehidupan menggereja.
Acara perdana tak tanggung-tanggung. Kami melakukan diskusi dan pemutaran film. Judulnya Priest (1994), kisah seorang pastor gay yang disutradarai Antonia Bird. Dengan format piringan hitam, film ini kami sewa dari sebuah rental yang berada di kawasan Guntur. Di edisi berikutnya, berkat kenalan Helen, kami bisa memutar dan mendiskusikan film Shadow Play, dokumenter karya Chris Hilton dan Lexy Rambadeta tentang penyintas Tragedi 1965. Kami juga pernah memutar dokumenter The New Rulers of the World karya John Pilger dan The Burning Season tentang aktivis hutan Chico Mendez. Lalu mengundang Maria Hartiningsih untuk bicara KDRT, Iswanti untuk perempuan dalam Gereja. Lalu tentang hukuman mati, pendidikan Paulo Friere, konsumerisme, kematian Munir, dan sebagainya.
Bersama Helen, kami pernah “menggila” bersama. Menggereja dengan jiwa merdeka, berpikiran bebas, dan tentunya menggembirakan. Itu terjadi di suatu masa saat jiwa muda membara sebelum raga menua.
Antitesis
Helen di beberapa kesempatan suka mencap saya sebagai antitesisnya. Ia pernah menulis di sini: “Sigit bukan sekadar sahabat, karena ia selalu menjadi antitesisku. Apa pun yang aku katakan, ia selalu bisa menyambarnya secara cerdas dan lucu.” Untuk cap ini, terima kasih Helen.
Ini penanda bahwa perdebatan itu hal biasa di antara kami. Perdebatan yang sering berujung pada gelak di mana kami saling menertawakan. Helen jadi teman diskusi dan debat yang asyik. Meski untuk hal tertentu, kami sedikit memiliki titik pijak yang berbeda.
Saat dia menjalani ujian tesisnya di UI, kami ikut datang mendukungnya. Saat saya menjalani sidang skripsi di STF Driyarkara, Helen dan teman-teman WM juga datang dan menyemangati.
Helen juga kami pilih menjadi ibu baptis dari putri bungsu kami, Maria Lentera, pada Mei 2016. Ia beberapa kali memberi kado Lentera, berupa buku dan boneka.
Demikian sekilas tentang Helen. Cerita-cerita tentang Helen ada di mana-mana. Mengingat sosoknya yang aktif di mana-mana seolah energinya tidak pernah habis. Terima kasih sahabat. Damailah dan bersukacitalah di sana. Kelak kita berjumpa kembali. Sekali lagi, Selamat jalan Helena Dewi Justicia. Perjuangan dan tulisanmu abadi.
Kebon Jeruk, 18 September 2022