Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Nabi-Nabi Itu Bangun Kesiangan

2 min read

Mereka baru bangun, sadar, dan berseru-seru saat kereta raja lalim ini melaju kencang dan susah diberhentikan.

BANYAK AKADEMISI dari beberapa kampus belakangan mulai melontarkan kritik pada Jokowi menjelang pilpres 2024. Mereka menilai pemerintah saat ini tanpa rasa malu dan bersalah terang-terangan melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Manuver politik Jokowi yang dikritik oleh akademisi tersebut menurut budayawan Goenawan Mohamad merupakan pertanda kegawatan situasi demokrasi di Indonesia. Akademisi bilang, pemerintah saat ini sedang menjauh dari etika politik, kental dengan kolusi dan nepotisme, ambisi berpolitik dinasti, hingga menyelewengkan kekuasaan.

Sejauh ini, sedikitnya ada 20 civitas academica yang sudah melontarkan kritik. Saya sebut sebagian, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Airlangga, dan tak ketinggalan almamater saya Sekolah Tinggi FIlsafat Driyarkara.

Kritikan tak hanya datang dari kalangan intelektual, tetapi juga tokoh-tokoh agama yang ikut turun gunung. Salah satunya datang dari Kardinal Ignatius Suharyo yang mencuatkan perumpaan nabi-nabi yang melakukan kritik terhadap raja-raja lalim. Perumpaan itu muncul sebagai tanggapan pada kritikan akademisi. Saya sengaja meminjam frasa nabi-nabi untuk judul tulisan receh ini dari Uskup Agung Jakarta itu.

Perumpaan Suharyo itu ringkasnya begini. Di setiap sejarah selalu ada kerajaan atau kekuasaan. Saat raja-rajanya melakukan penyelewengan, muncul nabi-nabi yang menyerukan keadilan. Akademisi itu ibarat nabi-nabi yang melontarkan seruan moral kepada penguasa sekarang. Bila nabi-nabi tak didengarkan, biasanya raja akan tumbang.

“Ketika kerajaan semakin merosot dan seruan kritik tajam oleh nabi-nabi tidak didengarkan, maka satu per satu kerajaan lalu tumbang.” Demikian kata Suharyo.

Bangun Kesiangan

Aksi turun gunung para akademisi dan tokoh-tokoh agama tersebut pantas diapresiasi. Namun, mereka ibarat nabi-nabi yang bangun kesiangan. Mereka terlalu lama tidur di ranjang istana.

Mereka baru bangun, sadar, dan berseru-seru saat kereta raja lalim ini melaju kencang dan susah diberhentikan.

Ketika membaca tulisan saya ini, saya pastikan Anda langsung spontan menyahut lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sama sekali. Spontanitas Anda tidak salah. Itu lumrah.

Saya hanya mau mengingatkan betapa besar dampak yang mungkin terjadi akibat nabi-nabi itu telat menyerukan suara kenabiannya.

Jauh sebelum nabi-nabi dan imam-imam kepala itu melontarkan seruan moral, mahasiswa sudah turun ke jalan. Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, mahasiswa sudah menyerukan kritikannya pada aneka penyelewangan kekuasaan, memprotes Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dan sebagainya. BEM UI sampai menyebut Jokowi The King of Lip Service. Runyamnya rezim ini antikritik, siapa pun yang mengkritik akan mengalami represi, doxing, dan kriminalisasi.

Gerakan Memanggil, seperti Gejayan Memanggil, Jakarta Memanggil, Lampung Memanggil, dan sebagainya, menjadi seruan kenabian mahasiswa di saat banyak akademisi dan tokoh-tokoh agama itu masih diam seribu bahasa. Mereka pada ngapain saat itu?

Bahkan, nabi-nabi itu turut nyinyir pada aksi mahasiswa. Mereka menganggap aksi mahasiswa telah ditunggangi oleh politikus kadrun, sarkas, dan melabeli anarko. Mendengar kabar mahasiswa itu luka-luka atau mati saat demonstrasi, kita cenderung mengumpat: syukurin! ketimbang memberikan rasa simpati.

Kita suka membanding-bandingkan aksi mereka dengan aksi 1998. Ah, yang benar saja? Ingat, beberapa aktivis 98, seperti Budiman Sudjatmiko, justru merapat dengan jenderal yang dulu mengejar-ngejar dirinya dan menculik teman-temannya. Ingat, setiap generasi punya caranya sendiri untuk melawan.

Stop mengglorifikasi aktivis 98 itu. Anak-anak Revolusi itu sudah mati. Mereka kini malah berjoget-joget bersama sang jenderal sambil menginjak-injak moral dan etika politik.

Saat mahasiswa menyerukan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja, banyak tokoh agama termasuk tokoh gereja juga diam saja. Pengkhianatan kaum intelektual, meminjam istilah Julien Benda, sedang berlangsung.

Saat itu, saya pernah mengambil kesimpulan bahwa Gereja Indonesia sudah kehilangan suara kenabiannya. Banyak teman-teman gereja tak sepakat.

Hampir sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, Gereja Indonesia nyaris tak berani melontarkan seruan moral. Beberapa pastor sekaligus intelektual Katolik lebih senang duduk nyaman di kursi kekuasaan dan cenderung menjadi humas kekuasaan ketimbang nabi.

Sebelum Malam Tiba

Bolehlah Anda bilang dengan mengutip pepatah Tiongkok: daripada mengutuki kegelapan lebih baik menyalakan lilin. Masih mending nabi-nabi itu bangun kesiangan. Masih punya waktu untuk menyiapkan diri sebelum malam gelap gulita itu tiba.

Bersama Maria Sumarsih di depan istana.

Jangan menyesali situasi akibat bangun siangnya para nabi itu. Toh, ada tidaknya para nabi itu, entah siang maupun malam, mahasiswa tetap turun ke jalan.

Mau hujan atau tidak, mau badai atau tidak, tetaplah melawan sampai keadilan tercapai. Seperti Maria Sumarsih yang tetap berpayung hitam setiap Kamis di depan istana siapa pun presidennya.

Saat nanti mahasiswa melawan dalam malam, mungkin para nabi itu sudah kembali tertidur lagi di ranjang istana raja yang baru. Semua itu sangat mungkin terjadi bila mereka ternyata cuma nabi-nabi palsu.

Betul demikian?

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti...
Sigit Kurniawan
4 min read

Kebebasan Berinternet, Kebebasan Semu

Internet dan kebebasan itu memiliki relasi paradoksal. Semakin kita bebas berekspresi di internet, semakin kebebasan itu terkontrol dan diawasi. Tak percaya? Pergilah ke luar...
Sigit Kurniawan
2 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *