Buku pertama Yuval Noah Harari yang saya baca adalah Homo Deus. Disusul Sapiens, baik versi teks maupun grafisnya yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Homo Deus mempertemukan saya dengan teman-teman baru dalam lingkar diskusi. Digelar di Gedung Perpustakaan Nasional, setahun sebelum pandemi. Bahasan Harari ini sangat kental dengan filsafat manusia.
Menurut Harari, ada tiga musuh utama manusia, yakni kelaparan, wabah, dan perang. Ketiganya mewarnai sejarah peradaban manusia dari abad ke abad. Tak mau kalah dengan keadaan, manusia berjuang mengatasinya.
Kelaparan menjadi musuh terburuk kemanusiaan selama ribuan tahun. Ini terjadi di banyak negara. Sebut saja Prancis, Estonia, Finlandia, Skotlandia, dan masih banyak lagi. Namun, perkembangan teknologi, ekonomi, dan politik berhasil memisahkan manusia dari musuh utama tersebut. Andaikata masih ada kelaparan, itu bukan disebabkan oleh bencana alam, melainkan politik manusia.
Musuh besar kedua kemanusiaan adalah wabah dan penyakit menular. Wabah paling terkenal adalah Maut Hitam. Meletup pada tahun 1330, dimulai dari Asia Timur. Penyebabnya adalah kutu. Banyak negara kelimpungan mengatasinya. Sempat muncul anggapan Maut Hitam disebabkan oleh kekuatan iblis.
Maut Hitam bukan yang terburuk. Manusia masih menghadapi aneka epidemi. Cacar, Flu Spanyol, Ebola, hingga AIDS. Namun, perkembangan dunia kedokteran cukup berhasil menekan penyakit-penyakit itu. Bioteknologi bahkan memungkinkan manusia mengalahkan bakteri dan virus.
Musuh besar ketiga adalah perang. Usai Perang Dunia sampai Perang Dingin, manusia hampir bisa mengatasi perang. Perdamaian antarnegara dibangun. Meski senjata nuklir ada, misil-misil disiapkan, bom-bom siap dijatuhkan, namun perang masih bisa dicegah. Meski demikian, Harari bilang tidak ada jaminan bahwa perdamaian akan tegak selamanya.
Homo Sapiens ke Homo Deus
Setelah mengangkat kemanusiaannya di atas tingkat binatang dalam hal perjuangan bertahan hidup, sambung Harari, manusia berusaha naik level menjadi dewa-dewa. Dari Homo Sapiens menjadi Homo Deus.
Manusia modern ingin menjadi Homo Deus melalui tiga proyek besar, yakni imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian.
Imortalitas Harari ini menurut saya tidak ingin melawan kodrat manusia seperti yang disampaikan Martin Heidegger sejak lama. Filsuf Jerman yang wafat pada tahun 1976 ini mengatakan takdir manusia ada itu adalah menuju kematian atau sein-zum-tode.
Bagi manusia modern, kematian merupakan sebuah masalah teknis yang bisa dan seharusnya dipecahkan. Manusia mati itu karena hal teknis seperti jantung berhenti memompa darah. Mati karena sel-sel kanker menyebar di hati atau kuman berbiak di paru-paru. Manusia percaya setiap masalah teknis ada solusinya.
Teknologi kedokteran mampu menjadikannya kenyataan. Bukan menjadikan manusia tidak bisa mati seperti kaum imajiner dalam kisah Highlander dari Skotlandia. Teknologi itu sebut saja transplantasi organ, vaksinasi, stem cell, dan sebagainya.
Harari bilang sejauh ini kedokteran modern belum memperpanjang rentang kehidupan alamiah setahun pun. Prestasi besarnya adalah menyelamatkan kita dari kematian prematur dan memungkinkan kita menikmati rentang penuh tahun-tahun usia kita.
Proyek besar kedua adalah menemukan kunci kebahagiaan. Tema kebahagiaan ini sudah lama sekali dibahas di sepanjang sejarah manusia. Harari memperjelas kunci kebahagiaan di sini adalah kesenangan. Cara mencapai itu dengan solusi biokimiawi. Manusia mampu merekayasa ulang tubuh dan pikiran sehingga bisa mendapatkan kesenangan abadi.
Dalam mencapai imortalitas dan kebahagiaan, manusia meningkatkan diri menjadi tuhan-tuhan. Ini merupakan proyek besar ketiga. Hal ini dicapai dengan tiga jalan: rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan rekayasa benda-benda nonorganik.
Rasanya proyek ketiga ini sudah mulai atau sedang mendekati kenyataan. Dengan rekayasa biologis, manusia bisa mengubah struktur DNA, sistem hormon, struktur otak, mengintervensi sistem biokimiawi, hingga bahkan menumbuhkan organ-organ yang sama sekali baru.
Rekayasa cyborg selangkah lebih maju lagi. Teknologi ini menggabungkan manusia dengan mesin-mesin. Misalnya, tangan bionik, mata artifisial, robot nano dalam aliran darah, dan sebagainya. Manusia menjadi setengah robot dan menjadi makhluk yang lebih canggih.
Rekayasa cyborg masih relatif konservatif. Pendekatan yang lebih berani adalah dengan merekayasa benda-benda nonorganik. Jaringan saraf misalnya diganti dengan perangkat lunak pintar. Perangkat ini mampu menyusuri dunia virtual dan nonvirtual yang bebas hambatan-hambatan kimiawi organik.
Siapa yang Bisa Menginjak Rem?
Pertanyaan ini lumrah diajukan di depan manusia yang terus mengembangkan diri, membuat kejutan-kejutan baru dalam peradaban. Dengan segala akal dan budi, manusia bisa mengembangkan dan menciptakan apa saja. Namun, apakah semua itu tidak bisa dikontrol? Apakah manusia akan hilang kendali?
Dengan teknologi, organisme bisa diperlakukan sebagai algoritma. Semesta tak lain merupakan aliran data yang bisa diproses. Algoritma merupakan seperangkat langkah metodis yang digunakan untuk kalkulasi, pemecahan masalah, dan dasar pengambilan keputusan.
Dataisme menjadi agama baru di mana yang disembah bukan tuhan atau manusia tapi data. Bagi kaum datais, Homo Sapiens merupakan algoritma usang.
Kembali ke pertanyaan tadi, salah satu yang bisa menginjak rem adalah otoritas etis. Masalah etis ini tidak bisa lepas dari hakikat paling prinsipial, yakni kemanusiaan. Termasuk bagaimana manusia bisa memaknai semuanya ini.
Buku Harari ini memang sangat provokatif. Pantas dibaca oleh siapa saja, asalkan manusia, dan bisa dijadikan alat untuk merefleksikan diri sembari bertanya: apakah Homo Deus itu akan mendukung masa depan manusia atau malah menghancurkannya?
Data Buku
Judul : Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia
Penulis : Yuval Noah Harari
Penerbit : PT Pustaka Alvabet, 2015
Tebal : 540 hlm.