Sabtu lalu, 24 Februari 2024, saya sengaja mengajak keluarga misa sore di Katedral Jakarta. Bukan karena khotbahnya tak bertele-tele khas pastor-pastor Jesuit, melainkan 500 meter dari gereja bergaya neo-gotik dan diresmikan tahun 1901 itu ada toko buku Patjar Merah.
Patjar Merah berada di kompleks Pos Bloc, ruang publik baru untuk hangout yang merupakan bangunan tua milik Pos Indonesia. Saya sudah kebelet beli buku-buku baru. Buat dibaca, buat ditulis. Kumpulan sastra dan esai dari penulis-penulis favorit sudah nangkring di daftar buku yang akan dibeli.
Dari Patjar Merah, saya memboyong tiga buku. Kiat Menjadi Diktator: Pelajaran dari Pemimpin Edan karya Mikal Hem, Malam Seribu Jahanam karya Intan Paramaditha, dan Tragedimu Komediku karya Eka Kurniawan.
Jumat kemarin, saya kembali membeli buku lagi di Patjar Merah secara daring. Dua judul, Kehidupan Setelah Jam 5 Sore karya Alifah Farhana dan Banyak Jalan Menuju Praha: Kisah Perjalanan dan Pertemuan karya Anton Kurnia.
Saya beruntung minat baca saya belum minggat. Ketika orang-orang ingin healing dengan mencari tempat staycation di atas bukit, pondokan di pinggir pantai, atau plesiran di luar negeri, saya merasa buku-buku merupakan tempat healing terbaik.
Memang sih akan lebih baik lagi atau bahkan akan menjadi superasyik bila membaca buku sambil rebahan di dalam tenda di punggung bukit, mandi matahari di pantai, atau santai di sofa sembari memandangi salju melorot di jendela hotel-hotel di Eropa. Namun, buku tetap menjadi ruang terbaik untuk healing di mana pun kita membacanya.
Belum lama ini, saya baca di linimasa Instagram tentang gerakan membaca di kereta. Gerakan ini diinisiasi oleh Gramedia dengan menggandeng PT Kereta Api Commuter Indonesia (KCI), operator KRL.
Instalasi rak buku disediakan di Stasiun Jakarta Kota dan Bogor. Penumpang bisa meminjam, membaca, dan mengembalikannya. Di beberapa stasiun KRL, rak-rak buku itu sudah lama ada, cuma tak terkelola dengan baik. Inisiatif baru ini patut didukung. Gerakan peradaban ini patut dilestarikan. Apalagi di era di mana layar gawai pintar merampas hampir seluruh kesadaran kita.
Ruang Pribadi
Membaca buku itu mengasyikkan. Apa pun jenis bukunya. Ketika kita membaca buku, kita tak hanya bertemu dengan gagasan-gagasan penulis. Lebih jauh kita menjumpai diri kita sendiri. Kok bisa?
Ketika membaca, kita akan melibatkan perasaan dan pikiran kita. Gagasan dalam bacaan tersebut tak jarang membangkitkan memori di masa lalu. Bisa juga menjadi cermin tempat kita mengaca.
Sesekali buku membangkitkan kesadaran baru dan membuat rongga pikiran kita mendadak seperti diterangi oleh lampu-lampu pijar. Semua peristiwa kelihatan terang benderang. Sesekali isi buku mencabik-cabik hati, memeras emosi, hingga membuat kita menangis.
Dus, buku-buku tak sekadar menjadi ruang berjumpa dengan penulis, tetapi tempat kita bertemu dengan diri sendiri. Bahkan, proses healing akan bertumbuh di sana seperti tunas kecambah yang bertumbuh.
Orang yang dulunya buta pikirannya telah melihat terang. Orang yang dulu lumpuh jiwanya bangkit kembali dengan hati berapi-api. Yang dulu tak menyadari penindasan kini bangun dan melawan. Yang bisu menjadi berani berkata-kata. Itulah sebabnya penguasa tiran tak suka rakyatnya pintar karena membaca buku.
Sindhunata, salah seorang idola penulis saya, dalam tulisannya berjudul Mencintai Buku: Menggali Spiritualitas Petrus Kanisius, mengatakan untuk membaca orang harus berani mengasingkan dirinya dan duduk sendiri dalam kesepian. Hanya dengan ini orang itu mampu meresapi bacaannya. Tulisan Sindhunata ini ada di buku Jalan Hati Jesuit, terbitan Gramedia tahun 2022.
Sindhunata mengutip kata-kata Thomas a Kempis, seorang penulis dan mistikus Kristen dari Abad Pertengahan yang berbunyi: “Ke mana-mana kucari kebahagiaan, tetapi di mana pun aku tak dapat menemukannya, kecuali di sebuah sudut di mana aku bisa membaca sebuah buku kecil.”
Sekali lagi, buku mengandaikan ruang. Namun, membaca buku tak harus di tempat terpencil dan sepi. Membaca bisa dilakukan di mana saja. Di stasiun, gerbong kereta, kafe, perpustakaan, kantor, hingga dapur.
Di mana pun tempat membaca, buku menuntut kita berani sendirian membacanya. Andaikan kita membutuhkan orang untuk menemani kita membaca, kita pun akhirnya harus kembali kepada diri kita sendiri dalam menghadapi teks yang sedang kita baca. (Sindhunata, 239)
Tentu aktivitas membaca di era media sosial sangatlah menantang. Banyak orang berpendapat bahwa kiamat membaca buku sudah dekat atau sedang berlangsung. Bagi saya, tidak ada kiamat untuk membaca buku. Itu hanya ungkapan kaum pesimistis.
Sekali lagi mengutip Sindhunata, membaca buku terus mendorong orang melatih diri agar organ tubuhnya, mata, hati, pikiran, hingga perasaannya tetap aktif sehingga mereka mampu memahami diri dan dunianya.
Kultur digital yang dikambinghitamkan sebagai penyebab malasnya budaya membaca tidak sepenuhnya benar. Lunturnya minat baca itu sesungguhnya disebabkan oleh kemalasan membaca yang sudah menimpa kita jauh sebelum kultur digital tiba.
Jadi, buku apa yang sedang kamu baca minggu ini? Ingat nasihat “iqra” yang berarti bacalah!