Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Gudang Ingatan Eka Kurniawan

3 min read

Ini merupakan kumpulan tulisan Eka Kurniawan di luar sastra yang saya baca pertama kali. Namun, saya baru menuliskan hasil pembacaan setelah buku kedua yang juga kumpulan esai berjudul Tragedimu Komediku

Judul buku ini sangat memikat. Semacam paradoks. Senyap tapi terdengar lebih nyaring. Mirip hidup miskin di tengah kelimpahan atau kesepian di tengah keramaian. 

Buku ini merupakan kumpulan coretan Eka di blognya pada periode tahun 2012-2014. Beda dengan Tragedimu Komediku yang merupakan kumpulan tulisannya di Jawa Pos

Senyap yang Lebih Nyaring sama seperti blognya merupakan gudang ingatan Eka. Di pengantar buku ini, Eka bilang banyak buku yang dibaca seseorang dalam hidupnya, tapi hanya sedikit yang diingatnya. Karena itu, ia menulis hasil membaca buku di blog.

Jika membaca buku merupakan perbincangan intim antara penulis dan pembaca, di sana tak hanya terdapat apa yang dikatakan si penulis, tapi juga apa yang kita catat di kepala. Sayangnya, itu catatan yang sangat rapuh, serapuh tulisan di kaca mobil berembun. (vi)

Membaca pengantar Eka ini, saya merasa mendapat afirmasi. Saya ngeblog tak lain juga karena ingin mendokumentasikan ingatan dari buku-buku yang saya baca, film yang saya tonton, atau perjumpaan yang saya alami. 

Coretan-coretan di blog ini merupakan wadah ingatan tersebut. Bila saya menulis tentang sebuah buku yang saya baca itu pertama-tama sebuah resensi buku pada umumnya. Saya hanya menuliskan konten-konten, baik itu ide atau kutipan, menarik untuk saya simpan. 

Kelak saya akan menjumputnya kembali untuk bahan tulisan. Termasuk ketika saya menuliskan hasil pembacaan karya Eka ini di tulisan yang sedang Anda baca ini.

Jalan Kepenulisan

Saya rasa buku ini sebagian besar bercerita tentang pelajaran menulis dan sastra. Di banyak halaman, Eka berbagi kiat tentang cara bikin judul memikat, cara penulis pemula menerbitkan karya, kapan dan tempat terbaik untuk menulis, filosofi sampul buku, cara mendapatkan ide-ide tulisan, belajar menulis novel, dan masih banyak lagi.

Di samping itu, lewat buku-buku yang ia baca, Eka bercerita tentang karya-karya sastra kelas dunia. Semua diceritakan mengalir, tak hanya karya, tetapi drama-drama yang menyelimuti hidup para sastrawan itu. Ada Gabriel Garcia Marquez, Albert Camus, Pramoedya Ananta Toer, Franz Kafka, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Salman Rushdie, George Orwell, Paulo Coelho, dan masih banyak lainnya.

Terkait menjadi penulis, Eka mencoba menghibur para penulis pemula. Mereka suka kehilangan harapan saat menghadapi para editor. Tukang jagal kata ini cenderung melihat nama-nama besar dan mengabaikan penulis pemula. 

Eka mengingatkan, jika editor atau redaktur abai pada penulis pemula, mereka sama saja bunuh diri perlahan. Setiap industri, termasuk penerbitan, membutuhkan regenerasi.

Ingat, semua penulis terkenal dan tua berawal dari penulis muda dan pemula. 

Dari pengalaman di Pangandaran, kota kecil dan berbau laut, tempat ia suka baca buku di masa kecil, Eka mengatakan satu-satunya paspor yang layak dimiliki seorang penulis hanyalah karya yang baik. Satu-satunya tanah air untuk penulis adalah bahasa yang ia gunakan.

Tempat terbaik untuk menulis buat masing-masing penulis berbeda-beda. Eka bilang bekerja di pasar malam sangat cocok untuk penulis. William Faulkner sekali waktu pernah bilang, tempat terbaik untuk penulis adalah rumah pelacuran.

Ide menulis pun bisa berangkat dari hal sepele. Saat menulis tentang es krim novel Cesar Aira berjudul How I Became a Nun, Eka bilang bahwa penulis Argentina ini menjadikan hal sepele es krim sebagai masalah kemanusiaan, bahasan filosofis, dan bahkan teologis. 

Eka bercerita seorang teman bersikeras meminta diajari menulis novel. Padahal, temannya itu, punya modal besar menulis: tulisannya baik dan rajin membaca buku.

Berhadapan dengan keras kepala temannya itu, Eka cuma bilang: ada dua pilihan saat kamu menulis novel. Yakni, sekadar menulis cerita atau menjadikan menulis novel sebagai jalan kepenulisan.

Untuk menulis novel, orang bisa mengikuti pakem-pakem yang ada seperti yang sudah dijalankan oleh para penulis. Meski demikian tetap memiliki kebebasan. Yang penting, mereka mengalami perjalanan yang didorong rasa senang, rasa ingin tahu, dan tentu keberanian.

Lalu, apa maksud senyap yang lebih nyaring di sampul buku ini? Jawabannya ada di halaman 329. Eka di kalimat pertama bab ini mengatakan bahwa tugas seorang penulis dan intelektual secara umum adalah bersuara. Namun, sejarah mengatakan ada kalanya para penulis memilih pesan bisu. Contohnya, Gabriel Garcia Marquez dan Mario Vargas Llosa.

Ia menyimpulkan, di tengah kebisingan, ketika semua orang bisa bersuara, apa tugas penulis? Jawabannya adalah diam.

“Ada kalanya kita memang harus diam. Tutup mulut dan berpikir lebih panjang. Sebab senyap sering kali memberi pesan yang lebih nyaring dari apa pun.”

Seni Membaca

Selain menulis, Eka di buku ini seakan mengajari pembaca seni membaca. Dengan membaca, seperti terbukti di tiap halaman buku ini, kita akan bertemu dengan banyak penulis besar dunia. Kita bisa menjumput gagasannya, menikmati cerita dan cara penulis bermanuver dengan plot cerita, dan sebagainya.

Dari membaca, kita bisa memahami fenomena jauh lebih beragam dan beda. Lewa cerpen The Spider Thread karya Ryunosuke Akutagawa, misalnya, Eka mengajak pembaca melihat kemacetan dan kesemrawutan jalanan di Jakarta dengan bijak. Orang berebut jalan, saling sikut, peduli setan melanggar lalin, demi ambisi pribadi. 

Cerpen Akutagawa berkisah tentang seekor laba-laba di surga yang menjulurkan seratnya menjuntai sampai neraka. Orang-orang di neraka berebut menaiki serat itu. Saling sikut demi ambisi pribadi. Namun, serat itu putus karena kelebihan beban. Semua orang pun terjatuh kembali ke neraka. 

Sekali waktu, Eka menyinggung aktivitas membaca dengan pertumbuhan seseorang. Ia prihatin bahwa keadaan sosial dan sistem pendidikan kita memungkinkan kita menjadi pembaca yang terlambat tumbuh. 

Ia prihatin saat mentatakan, dirinta tak akan heran bertemu dengan anak yang lulus sekolah menengah dan tak pernah membaca satu novel pun.

“Pembaca yang tumbuh, pembaca yang dewasa, merupakan pembaca yang memelihara roh anak-anak di dalam kepalanya. Roh rasa ingin tahu.” (hlm. 261)

Akhirnya, dari buku ini, saya semakin yakin bahwa untuk menjadi penulis yang bagus orang harus banyak membaca, khususnya buku-buku bagus. Untuk menjadi sastrawan besar, orang harus membaca karya-karya sastrawan besar. Dan, tulisan-tulisan Eka yang bagus dan sarat refleksi di buku ini berangkat dari aktivitasnya membaca buku-buku.

Eka Kurniawan menurut saya menjadi penulis keren seperti sekarang karena selain totalitasnya menjalani hidupnya sebagai penulis juga karena kerakusannya membaca karya-karya besar.

Omong-omong, kekurangan yang sedikit mengganggu saya dari buku ini cuma satu, yakni semua bab ditulis dalam satu paragraf seperti di blognya. Meskipun alasannya sudah dijelaskan Eka di kalimat pertama pengantar buku ini.

Data Buku
Judul : Senyap yang Lebih Nyaring
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : CIRCA, 2019
Tebal : xii + 352

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *