Catatan Receh

Category: Sosok Page 1 of 3

Dunia Helena

“Selamat jalan Helena Dewi Justicia. Perjuangan dan tulisanmu abadi.”

Kutipan di atas ini mencuri perhatian saya. Saat mengikuti misa requiem untuk Helena Dewi Justicia, saya akrab memanggilnya Helen, di rumah duka Rumah Sakit Harapan Kita, Tomang, Jakarta, Senin, 6 Juni yang lalu. Kutipan itu tersemat di karangan bunga dari Yayasan Pantau, tempat ia pernah belajar jurnalisme sastrawi yang diampu oleh Andreas Harsono.

Saya seratus persen setuju dengan kutipan itu. Helen merupakan seorang penulis tangguh. Tulisan-tulisannya bernas, reflektif, jernih, dan kaya spiritualitas. Bahkan, saat berjibaku dengan kanker yang menyerang otaknya, ia masih setia menulis. Catatan-catatan kecilnya mengalir saban hari di Facebook. Entah tengah malam atau dini hari.

Musik Yus Menembus Langit Paradiso

Foto: Ricky Yudhistira

“Bro, apa kabar? Senantiasa sehat ya. Wis beres gendheng omahmu?”

Itulah nukilan pesan dari Yulius Panon Pratomo (Yus) pada saya di WhatsApp pada 15 Oktober 2020. Dia menanyakan kabar demikian karena, harap maklum, saya barusan posting tentang genting rumah yang bocor.

“Aku ingin ngobrol minta bantuan publikasi karya, Bro.”
“Siap. Aku akan share di grup-grup. Namun, aku perlu narasi singkat terkait lirik-lirik lagu tersebut. Satu paragraf pendek saja agar audiens tahu itu video tentang apa dan konteksnya.”
“Oke-oke. Nanti kusiapkan.”

Siang Itu Hujan Turun Deras Sekali

Kenangan akan almarhum bapak ibu memang tak ada habisnya. Bermunculan setiap saat dalam ingatan. Salah satunya dalam peristiwa-peristiwa di saat hujan turun deras sekali.

Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis Jerman, pernah bilang, jika badai menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat. Salju tak turun di sini, melainkan hujan. Saya tak sedang berfilsafat, saya cuma mau menghadirkan kembali kenangan-kenangan itu bersama hujan bulan Oktober yang masih angot-angotan.

Dirjo Telah Pergi ke Tempat Lebih Dalam

“Mungkin saya tidak tercatat dalam buku kesuksesan manusia. Tetapi, saya tetaplah Dirjo yang siap menuju tempat yang lebih dalam.”

Itulah kutipan dari sahabat saya, Yohanes Ronny Septoro Wisnu (Dirjo), yang saya baca kembali di buku Follow Me 2.0, kumpulan refleksi anak-anak Merto angkatan 92 yang terbit tahun 2016. Ia menulis dengan judul “Menuju Tempat yang Lebih Dalam.”

Hari ini, pukul 14.35, Dirjo meninggal dunia di rumahnya di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sudah lama, ia berjuang melawan sakitnya dan harus bolak-balik ke rumah sakit untuk cuci darah. Sedikitnya, saya membaca kutipan Dirjo dua kali. Saat mengedit tulisannya dan beberapa saat lalu usai mendengar kabar duka ini.

Mereka Bermain di Laut

Sore tadi, di ruang redaksi, saya mendengar lagu Let It Be. Lagu The Beatles itu mengalun pelan. Bukan dari laptop atau hape saya. Melainkan dari laptop rekan kerja di samping ruangan saya. Hafiz namanya, wartawan otomotif.

Di kalangan Kristiani, lagu ini cukup populer. Lagu ini biasanya diputar saat retret maupun rekoleksi dengan suasana silentium di sebuah pondokan, jauh dari keramaian.

Adolf Heuken SJ: Teladan Kedalaman di Era Pencitraan

Mengapa ada puluhan nama Jesuit dijadikan nama-nama kawah di bulan? Pertanyaan ini terlontar dari Romo Johannes Hariyanto SJ, seorang pastor Jesuit yang saya temui saat melayat Romo Adolf Heuken SJ di Kapel Kolese Kanisius, Jakarta, Jumat (26/7/2019). Pertanyaan itu tidak dialamatkan ke saya agar saya menjawabnya. 

Romo Hari menjawab sendiri sebagai penegasan. Para Jesuit yang namanya diabadikan di bulan itu merupakan orang-orang yang mengabdikan diri secara khusus pada pengetahuan. Ada pakar matematika, astronomi, fisika, filsafat, dan sebagainya. Mereka berkarya dengan penuh passion dan totalitas. Karya-karya mereka pun substansial bagi kehidupan manusia. Hal yang sama juga melekat pada diri Romo Heuken.

Page 1 of 3

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén