“Kegetiran, kebengisan, dan pelecehan seksual. Inilah yang dilakoni Shoko Tendo. Putri mantan bos Yakuza ini pernah diperkosa beberapa kali, digebuki seperti binatang, keluar masuk penjara, dan menjadi bajingan tengik semenjak remaja. Dia menjadi bandit Yanki dengan tato di sekujur tubuhnya.”
Apa yang terlintas di benak Anda bila mendengar kata Yakuza? Organisasi kriminal di Jepang? Pembantaian di bar-bar beraroma minuman keras atau di sentra-sentra perjudian ilegal? Jual beli narkoba dan tawuran antargeng mafia? Kriminalitas dan segala ragam kekerasan lainnya? Benar adanya bila asumsi kekerasan melekat dalam kata Yakuza. Continue reading “Titik Nol Putri Bos Yakuza”
“Bapakku masih membaca kamus setiap hari. Ia bilang hidup kita tergantung pada kepiawaian kita menggunakan kata.” (Arthur Scargill)
Masih teringat dengan kata-kata pusaka Rene Descartes, Cogito Ergo Sum? Filsuf aliran rasionalisme berdarah Prancis ini mengatakan bahwa aku berpikir maka aku ada. Bapak filsafat modern ini memandang manusia pada hakikatnya adalah pemikiran atau res cogitans. Baginya, kenyataan bahwa aku yang sedang meragukan segala sesuatu itu ada.
Imajinasi liar sering muncul dalam batok kepala saya. Tentang mesin ketik. Sebuah mesin ketik ajaib. Bukan laptop. Bukan tablet. Tapi, mesin ketik. Mesin ketik yang dipakai oleh orang-orang di surga sana. Tak-tik-tok. Tak-tik-tok. Itulah suara yang menguar dari kubikel-kubikel kecil di surga sana. Kubikel-kubikel itu gaduh. Mungkin lantaran bunyi-bunyian itulah, Tuhan memang tak pernah tidur. Tepatnya tak bisa tidur.
Fe. Foto: dokumentasi Fe di Facebook
Orang-orang
itu sibuk mengetik. Mengetik kabar bahwa mereka sudah sangat bahagia di surga.
Ketikan itu akan dikirimkan untuk saudara, kerabat, atau sahabatnya yang ada di
dunia. Sembari mengetik, para malaikat terbang naik turun sambil melayani
mereka: menyurungkan secangkir kopi, berbagi api untuk batang-batang rokok,
mengulurkan asbak, menuang sebotol bir, maupun seteko anggur.
Imajinasi
liar itu masih doyan menari-nari di kepala saya. Muncul bila saya teringat
sosok sahabat penulis yang sudah
mangkat. Femi Adiningsih Soempeno namanya. Seandainya di surga ada mesin ketik,
apa yang akan ditulis oleh sahabat yang suka saya sapa dengan Fe itu? Seperti
biasa, dia mungkin akan menulis kisah-kisah kecil. Kisah-kisah konyol.
Kisah-kisah receh. Persis ketika ia memperlakukan blognya saat masih hidup.
Mungkin ia akan berbagi kabar betapa baunya jempol kaki Tuhan. Berkabar
ternyata ada malaikat yang berhidung pesek dan berperut seperti melon raksasa.
Bisa juga berbagi gelak: ternyata Tuhan berhidung tomat dan bertelinga seperti
kelinci. Pasti sangat seru. Sungguh seru!
Pastinya
kisah-kisah itu bisa membunuh rasa rindu ini. Rasa rindu yang membuncah setelah
blognya berhenti berceloteh pada Minggu, 29 April 2012. Ibarat kereta api yang
berhenti mendadak dan kemudian ditinggal pergi sang masinis selamanya. Fe
buru-buru pergi sepuluh hari setelah kisah terakhir itu. Usai hari itu, saya
berharap keajaiban. Blog itu akan disegarkan kembali dengan kisah-kisah baru. Tapi,
kisah-kisah baru itu tak muncul. Sampai akhirnya bayangan mesin ketik itu
hinggap di kepala saya.
Bayangan
itu menguar lagi pada 25 Desember 2012. Saat itu sore hari. Merapi terbungkus rapat oleh mendung. Saya
bertandang di makamnya di Kembangarum, Donokerto, Turi, Sleman, Yogyakarta.
Rencana ini sudah saya bungkus sejak lama. Akhirnya, persis di hari Natal, saat liburan, saya mendamparkan diri ke “rumah barunya” itu.
Turi merupakan sebuah kawasan kecamatan paling utara di kabupaten Sleman. Posisinya di lereng Merapi bagian Selatan membuat daerah penghasil salak pondoh itu berudara sejuk. Untuk mencapainya tidak terlalu sulit. Dengan sepeda motor, saya membutuhkan waktu 30 menit dari Kota Jogja.
Makam Fe. Saya foto pada 25 Desember 2012
“Fe,
apa kabar?” kata saya sambil meletakan seikat aster merah dan sekaleng bir.
Saya membungkus aster merah itu dari kios bunga di Jalan Ahmad Jazuli, Kota
Baru. Saya memilih aster merah bukan karena tanpa sebab. Bunga ini sering
diceritakan Fe di dalam blognya. Aster merah selalu ia bawa setiap kali ia mengunjungi
makam kedua orangtuanya—Paulus Soempeno dan Agnes Yohana. Keduanya juga dimakamkan di Kembangarum. Soal
sekaleng bir itu juga ada alasannya. Bir ini titipan Hendra
Soeprajitno—teman kerja Fe saat bekerja di Kontan.
Sekarang, Hendra jadi teman satu newsroom
dengan saya di Marketeers dan teman
minum bir kala suntuk. Bir itu pun saya guyurkan di pusara Fe seperti pesan
Hendra.
Kenangan-kenangan
itu berloncatan di antara daun-daun bambu kering yang berserakan di makam yang
belum setahun itu. Belum ada batu nisan membungkusnya. Masih berupa tanah
berwarna cokelat bercampur pasir. Makam ini terbingkai oleh semen berbentuk
empat persegi. Sore itu mengantar sunyi.
Hanya saya dan nisan-nisan dalam bayangan batang-batang bambu dan daun-daun
pisang. Sunyi ini pun membuka kotak kenangan tentang seseorang yang jasadnya
dimakamkan di sana.
Kenangan
pertama jatuh pada Bioskop Megaria. Selasa malam, 19 Juli 2005. Bioskop yang konon katanya merupakan bioskop
tertua berarsitektur Art Deco malam itu tak
terlalu ramai. Mungkin karena bukan malam minggu. Saya dan Fe sudah
membungkus janji untuk menyambangi gedung yang dibangun pada 1949 dan bernama
Metropole itu.
Saya dan Fe menukar uang Rp 40 ribu untuk dua potong tiket film Gie. Film tentang Soe Hok Gie besutan Riri Reza menjadi bahan reriungan hangat bagi kami berdua. Kami sama-sama mengagumi sosok Soe Hok Gie, tokoh sentral yang diperankan Nicholas Saputra itu. Banyak sisi menarik dari Soe Hok Gie. Satu, Gie adalah anak muda. Dua, Gie adalah seorang intelektual. Tiga, Gie doyan menulis. Empat, Gie antikemapanan. Kala itu, sebagai anak-anak muda yang penuh idealis, Gie menjadi ikon antikemapanan kami.
Fe dan kami di komunitas penulis Agenda 18 angkatan pertama. Foto: Agenda 18
Saya
menangkap banyak kesamaan antara Gie dan Fe. Fe, jelas, doyan menulis. Fe di
masa-masa jatuhnya Diktaktor Soeharto – tentunya dia masih remaja—juga gemar
berdemo dan berorasi. Gie menulis buku
sebagai bentuk jiwa antikemapanannya. Fe juga menulis banyak buku. Tentang
Prabowo, tentang Wiranto, tentang Soeharto, tentang Boediono. Tentang nama pertama itu, saya jadi ingat
cerpen Seno Gumira Ajidarma “Ibu yang
Anaknya Diculik Itu”, tentang jenderal penculik yang sekarang ingin
berambisi jadi orang nomer satu di Indonesia.
Fe juga memakai nama pena “Agnes Yo”—nama samaran yang ia ambil dari
nama almarhum ibunya.
Ketertarikannya
pada politik mungkin karena sosok Paulus Soempeno. Ayahnya menjadi salah satu
korban gonjang-ganjing politik 1965. Soempeno pernah merasakan dinginnya lantai
penjara. Siksaan dan intimidasi Rezim Orde Baru tak luput ia alami. Fe dalam
berbagai coretan di blognya sangat mengagumi dan membanggakan bapaknya. Namun,
di samping menjadi penulis buku tentang kerasnya politik, Fe merupakan seorang
penulis yang tak bisa menyimpan sendiri kegundahan hatinya. Blognya berisi
jajaran cerita-cerita kecil tentang apa saja yang ditulis dengan renyah dan
sangat personal. Persis seperti Gie yang rajin mengisi buku hariannya.
Sayangnya,
Gie mati muda di Gunung Semeru. Intelektual muda ini mati karena asap beracun
pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ia merayakan ulang tahunnya ke-27. Gie
mati bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Gie mati dalam pelukan gunung
yang dingin dan sunyi. Kematian Gie
meninggalkan banyak hal. Termasuk sepotong puisi kecil yang seolah menjadi penanda takdirnya. “…nasib terbaik ialah tidak pernah
dilahirkan. Yang kedua dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah
berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda. Makhluk kecil kembalilah dari
tiada ketiadaan. Berbahagialah dalam ketiadaaanmu…”
Fe
juga mati muda, bersama banyak rekannya, dalam pelukan gunung yang sunyi,
Gunung Salak.
Kenangan kedua jatuh di Pondok Labu. Kala itu, tahun 2003, malam sudah matang di Jakarta Selatan. Kami bertemu di sebuah pelatihan penulisan, Agenda 18—komunitas anak-anak muda yang bermimpi menjadi penulis. Di komunitas inilah, saya mulai mengenal Fe sebagai penulis berbakat. Tugas-tugas penulisan ia kerjakan dengan ciamik. Termasuk tulisan tentang kunjungannya ke rumah Pramoedya Ananta Toer – penulis favoritnya.
Femi (kaos merah kacamata) bersama Agenda 18 sedang berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Foto: Agenda 18
Dari
Pondok Labu, kami berlanjut menggelar reriungan. Entah untuk beberapa potong mendoan panas di
sudut jalan Barito, Jakarta Selatan, secangkir oplosan vodka di ruas jalan
Tebet bareng kolega. Entah untuk beberapa potong obrolan di kos yang dipenuhi
dengan mahkluk berkutang dan di ruang penuh ornamen katak di bilangan Palmerah.
Merapat untuk komunitas penulisan. Mencacah malam di warung tenda.
Saat
bertemu, kami bisa intensif bertemu untuk beberapa hari. Tapi, sekali tak
bertemu, bisa berbulan-bulan. Malah setahunan kami tidak bertemu. Mungkin ia
sedang mengembara ke negeri orang. Mungkin sedang berkereta untuk sebuah tugas
jurnalistik. Sampai akhirnya saya tahu
alasan mengapa ia lebih suka menghilang, yakni melahirkan buku-buku.
Kenangan
ketiga jatuh pada tumpukan surat elektronik.
Sebuah korepondensi digital. Di awal-awal pertemanan, kami sering
bertukar surat elektronik. Kami berbagi mimpi-mimpi menjadi seorang jurnalis
dan penulis yang baik. Meski sejujurnya, sayalah yang sebenarnya sedang berguru
menulis padanya. Saya diam-diam belajar bagaimana menulis yang enak dan renyah,
entah di media tempat ia bekerja maupun di halaman blognya.
Pada
Sabtu, 23 Juli 2005, misalnya, Fe mengirimkan
paket elektronik ke kotak surat Yahoo! saya. Paket saya buka dan
muncullah empat artikel yang terbungkus dalam attachment. Semua isinya tentang
cara menulis yang baik. Satu artikel ditulis oleh seorang wartawan senior Farid
Gaban. Judulnya adalah Seperti Tarian
Burung Camar—sebuah judul yang memikat.
Satu
kutipan menarik dari Farid Gaban:
“Tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di
tengah persaingan antar media komunikasi yang kian ketat. Mereka dikangeni
karena berjiwa, personal, memiliki sudut pandang yang unik dan cerdas, serta
penuh vitalitas. Tulisan yang baik tak ubahnya seperti tarian burung camar di
sebuah teluk: ekonomis dalam gerak, tangkas dengan kejutan, simple dan elok.”
Kalau
kita baca tulisan-tulisan Fe, bukankah tulisannya meliuk-liuk seperti camar?
Ringkas, berjiwa, penuh vitalitas, berisi, personal, dan tentunya ngangeni. Fe pernah blak-blakan soal pengalamannya menjadi wartawan. Dalam suratnya
tertanggal 19 September 2005, masa-masa awal Fe menekuni profesi wartawan, Fe
bercerita satu rahasia kubikel kerjanya.
“Aku tu paling ga tega jika
langsung minggat begitu saja setelah deadline usai. Selalu aku harus bertanya
pada redakturku, “Beritanya ada yang kurang? Butuh berapa lagi?” atau, “Ada yang masih harus dilengkapi?”
Fe
begitu mencintai profesinya sebagai wartawan. Fe menulis dalam surat bertanggal
sama: “Ada 3 alasan kenapa orang gila
bekerja. Pertama, karena pekerjaannya menyenangkan. Kedua, karena banyak
perusahaan yang membikin acara (meeting) usai jam kantor sehingga harus
overtime bekerja. Ketiga, karena orang menunggu menghabiskan jam three in one
dan kemacetan. Kalau aku, karena alasan pertama.”
Dan
begitu Fe benar-benar mencintai pekerjaan dan hobinya itu, yakni menulis. “Dari tiba di kantor, aku sudah menghadap
komputer, menelpon orang-orang, wawancara sana-sini dan riset untuk bahan
tulisan. Nggak tanggung-tanggung, aku kadang membikinkan riset –yang sebenernya
bukan kewenanganku—untuk penulis. aku pulang jam 10 malam, sampai kos kadang
langsung tidur, masih dengan jeans dan kemeja kerja dan kaos kaki. Kalau tidak,
ya mandi dan menulis lagi hingga jam 2 atau 3 pagi, dan tidur. Bangun di pagi
hari, langsung bekerja kembali.”
Kenangan
keempat jatuh di kafe Ocha & Bella, dekat Jalan Sabang, Jakarta. Kamis
pagi, udara hangat, langit biru, 26 April 2012. Di kafe ini, kami bertemu dalam liputan HUT Vespa ke-66. Ia meliput untuk
media barunya, Bloomberg. Di Seperti
biasa kami juga berbagi gelak. Di sini,
dia sempat berbagi tips bagaimana membuat berita di media online.
Hari
itu, Fe masih sosok orang yang sama. Wartawan tangguh. Penampilannya tomboi dan
cekatan. Tak patah arang menggali informasi dan mengejar narasumber. Saat
wartawan lain, termasuk saya tentunya, lebih merasa cukup mendapat bahan
liputan dan bergegas menyantap makan siang, Fe masih sibuk mewawancarai Sergio
Mosca, bos Vespa Indonesia. Lantaran ada liputan lain, saya pamitan pada Fe via
BBM saat Fe belum kelar juga “menggarap” Sergio.
Usai
pertemuan itu, saya tak menjumpainya lagi. Sampai akhirnya, Sukhoi Super Jet
100 dengan nomer penerbangan RA36801 menjemputnya. Membawanya terbang ke langit
dan tak pernah kembali. Ia pergi meninggalkan sepotong kalimat singkat di BBM
usai dari kafe itu: “Nice to see You!”
Kenangan
kelima jatuh di blog lawas Fe bertanggal 2 November 2006. Tulisan itu berjudul
“Hari Ini Hari Arwah.” Paragraf terakhir tulisan Fe itu cukup mencuri perhatian
saya. Berikut kutipannya:
“ya, saya tahu.
saya tahu betul. kehangatan ayah dan ibu tetap saja berbekas. rindu pada kalian
tak akan pernah lunas terbayar. ayah,
ibu. sore nanti putri bungsumu berlutut di depan altar. senada dengan
merundukkan kepala, saya akan menaruh sejumput harap, agar kalian bahagia
disana. semoga yang terbaik datang untuk kalian. semoga Tuhan menjaga kalian
dan selalu menghamparkan rumah yang diliputi penuh dengan kebahagiaan. dua
putrimu di sini akan merajut malam dengan senandung kecil dan dekapan rindu
untuk kalian. … senandung yang
didendangkan setelah episode mei usai.”
Merinding
membacanya. Fe sekarang sudah membayar lunas kerinduan pada ayah dan ibunya. Fe
pun sudah berada bersama kedua orangtuanya di Kembangarum Surgawi. Saya dan teman-teman Fe yang menggantikannya
merajut malam dengan senandung kecil dan dekapan rindu untuknya. Senandung yang
didendangkan setelah episode Mei. Mei, iya, M-e-i, tepatnya 9 Mei, di bulan Maria,
ketika Fe menghadap Tuhan.
Kenangan terakhir jatuh pada Mbah Bakri. Fe suka memanggilnya bulik. Saya menemuinya berkat kebaikan Esti, kakak Fe, saat saya bertandang pertama kali ke makam Kembangarum, Natal tahun lalu, persis 25 Desember 2012. Mbah Bakrilah yang menunjukkan jalan menuju makam. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah. Suaminya sudah lama meninggal. Perempuan uzur ini sungguh murah hati.
Tanpa prasangka, ia menerima saya di dalam rumahnya. Rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari pemakaman atau 150 meter dari Sendang Kumitir—sebuah mata air yang menganak sungai dan suara gemericiknya terdengar di makam Kembangarum. Menguarkan kesejukan.
Segelas
teh manis panas. Sekeranjang salak pondoh di meja. Langit sore menghitam
jelaga. Kami berceloteh penuh kehangatan. Mbah Bakri berkisah banyak hal
tentang Fe. Tentang kehilangan. Tentang pertanda. Tentang kasih sayang. “Saya
ini sebelumnya tidak pernah merasakan kehilangan yang amat sangat saat
ditinggal Femi,” tutur Mbah Bakri dalam bahasa Jawa.
Soal
pertanda, Mbah Bakri punya cerita. Di dekat makam bapak-ibunya, ada “jugangan” atau
liang kosong. Setiap tiga bulan sekali Fe nyekar
di sana. Setiap kali melihat liang kosong itu, sambung Mbah Bakri, Fe
selalu bertanya, “Itu liang di bawah makam ibu untuk apa?” Tiga bulan kemudian
pergi ke makam, Fe selalu menanyakan hal yang sama.
“Tidak
ada hal yang lain yang ditanyakan Femi selain jugangan itu. Kalau liang itu
penuh sampah, Femi kemudian membakarnya. Begitu sampai bulan kesembilan,” kata
Mbah Bakrie.
Sampai
pada sebuah Selasa, Fe menelepon Mbah Bakri. “Lik, saya belum bisa pulang.
Kerjaan saya banyak dan sungguh repot. Kalau tidak seminggu, dua minggu lagi
saya akan pulang,” kata Mbah Bakrie mengenang.
Sehari
setelah percakapan di ujung telepon itu, Mbah Bakri menerima kabar Fe
menghilang bersama pesawat Sukhoi. Seminggu pencarian oleh Tim SAR, Fe belum
ditemukan juga. Seminggu kemudian, Fe baru diketemukan, tapi sudah meninggal.
“Kok ya pas, kalau tak seminggu, dua minggu lagi Femi pulang, dan dibawa ke
Jogja. Tapi, Femi pulang dalam keadaan meninggal,” tutur Mbah Bakri tersedu.
Dan,
Fe akhirnya dimakamkan persis di liang yang sering ia tanyakan pada Mbah Bakri
itu. Pemakaman di Kembangarum merupakan permintaan Fe sendiri ketika masih
hidup. “Besok, kalau saya meninggal, saya ingin dimakamkan di dekat makam bapak
ibu,” kata Fe seperti ditirukan Mbah Bakri.
Soal
kasih sayang, Mbah Bakri berceloteh tentang keheranannya saat prosesi pemakaman
jenazah Fe berlangsung. Dia heran orang yang melayat sungguh banyak. Mengular
dan memadati jalan-jalan yang menuju Sendang Kumitir. “Banyak orang yang tanya
pada saya, siapa priyayi yang dimakamkan itu, kok yang melayat banyak sekali.
Kalau bukan tokoh penting, tidak mungkin sebanyak itu,” kenang Mbah Bakri.
Kenangan
Mbah Bakri ini menjadi bukti bahwa Fe dicintai banyak orang. Tak hanya karena
kepribadiannya yang supel bergaul dengan siapa saja, tapi mungkin karena ia
menulis. Persis kutipan sastrawan legendaris Indonesia Pramoedya Ananta Toer
yang menjadi kutipan favoritnya: “Aku
menyayangi kamu karena kamu menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin
karena abadi sampai jauh…jauh di kemudian hari.”
Mahgrib
mengucur deras di antara daun-daun salak. Senja jatuh di pelataran rumah. Saya
sudahi obrolan hangat itu. Usai pamitan, Mbah Bakri membungkuskan seplastik
kresek salak pondoh. Saya mengambil sepeda motor dan meluncur ke bawah. Pulang.
Sampai di rumah, saya membuka bungkusan. Salak-salak itu saya bagikan kepada
orang rumah. Dan, sampai sekarang, setiap saya membuka kulit buah itu, saya
selalu teringat nama gunung tempat Fe mengembuskan napas terakhirnya.
Fe
sudah pergi. Ibarat biji gandum, Fe jatuh ke tanah, mati, dan kemudian berbuah
banyak. Terimakasih Fe atas perjumpaan selama ini. Sungguh, kematianmmu membuahkan
kehidupan dalam diri saya. Escribir para
siempre, menulis untuk selamanya. Tunggu saya di sana.