Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Paus Fransiskus Sedekat Itu

6 min read

Paus di Lobi KWI

Depan lobi kantor KWI masih menyimpan tanda tanya hingga saat ini. Sebuah peristiwa tak masuk di akal. Saya berdiri di depan lobi bersama uskup-uskup yang jadi among tamu menyambut Paus Fransiskus. Di situ, saya bisa melihat dan menyapa Paus Fransiskus dalam jarak sangat dekat.

Kenapa saya bisa di situ? Misterius bagi saya. Jadi begini. Saya mengidolakan Jose Mario Bergoglio — nama asli Paus Fransiskus– sejak ia terpilih menjadi paus. Sederhana, murah senyum, progresif, dan tentunya Jesuit. Dengar ia mau ke Indonesia, saya bertekad menemuinya. Dua kali saya bermimpi ketemu dirinya. Segitunya.

Bagaimana bisa ketemu? Kuota ikut misa di GBK dari jatah paroki habis. Begitu ada info kuota ditambah tapi di Stadion Madya, saya buru-buru daftar. Berhasil. Tak lama, komite media kunjungan Paus membuka akreditasi media. Saya girang karena jalur media menurut saya lebih membuka lebar kesempatan bertemu Paus. Optimis lolos akreditasi, saya lepaskan jatah di Stadion Madya itu.

Selfie depan mobil Paus Fransiskus saat dirinya sedang berada di lantai 8 kantor KWI untuk pertemuan dengan lembaga amal.

Tak lama, panitia umumkan hasil akreditasi. Saya lolos. Girang bukan main. Selang beberapa hari semua jurnalis, baik nasional dan internasional, disuruh ke kantor KWI untuk ambil media pass (ID khusus).

Cobaan pertama datang. Ternyata, ID media yang saya terima cuma bisa mengakses satu tempat di KWI. Itu pun bukan tempat pertemuan dengan Paus, melainkan hanya ruangan media center yang letaknya berbeda lantai dari ruang pertemuan dengan Paus. Arti lain, saya juga tak bisa meliput Paus di Istiqlal, katedral, istana, dan lainnya. Di media center, saya hanya bisa menyaksikan streaming acara Paus dari sebuah unit TV. Kalau begini, di rumah juga saya bisa melakukannya.

Parahnya lagi, ID itu tak bisa saya pakai untuk mengakses GBK yang artinya saya tak bisa mengikuti misa Paus. Saya jurnalis Katolik, meliput Paus tapi tak bisa ikut misa dan terima komuni dari Paus itu sama saja bohong. Saya konfirmasi ke panitia dan benar saya tak bisa akses GBK dan venue selain media center KWI. Panitia sedikit memberi secuil harapan bahwa kalau kuota di GBK ternyata masih ada sisa saya akan dikabari. Benar-benar cilaka!

Malam Patah Hati

Malam pascaterima ID itu, jiwa saya gundah gulana. Krisis rohani. Saya protes ke Tuhan karena telah PHP. Upaya bisa misa bersama Paus sia-sia. Sampai dini hari, saya tak bisa tidur. Saya benar-benar patah hati dengan Tuhan. Pukul empat pagi, dengan sisa harapan dan rasa kantuk, ada dorongan untuk berdoa rosario. Siapa tahu Maria memberi pertolongan dengan mendatangkan keajaiban, meski rasanya tak mungkin.

ID pertama (kiri) hanya berstiker biru dengan linkaran kuning, tanda saya hanya akses media center di KWI. ID kedua (kanan) ditambahi stiker orang IND10 tanda bisa akses area GBK sehingga bisa ikut misa dan meliput di sana. Stiker merah tanda lolos akreditasi paspampres.

Esok harinya, semua jurnalis diundang ke kantor KWI untuk konferensi pers. Hati saya masih lesu sepanjang konferensi itu. Namun, muncul dorongan hati agar tak tertawan kegagalan (meminjam istilah Paus Fransiskus saat berkotbah di GBK). Saya menghubungi komite media lagi. Berusaha agar bisa akses misa di GBK. Tak bisa akses di tempat lain tak masalah — karena komite media tampaknya cukup kerepotan memplot 700-an jurnalis yang terdaftar. Tapi kalau tak bisa ikut misa rasanya tak rela.

Pesan saya tak ada balasan. Lama dan bikin was-was. Dan, panitia akhirnya balas pesan saya. Saya diminta menemuinya usai konferensi. Teng-teng, saya dapat akses tambahan ke GBK. ID media saya ditempeli stiker warna oranye, tanda saya bisa akses misa di GBK. Hati melambung bungah. Rasanya mau sujud syukur. Maria mendengarkan doa saya.

Dengan tambahan stiker tadi, saya bisa akses dua venue: media center KWI dan GBK. Lebih mendingan karena paling penting saya bisa ikut misa, menerima komuni, sekaligus berkat dari Paus Fransiskus. Termasuk bila saya bisa melihat Paus hanya dari kejauhan.

Namun, cobaan kedua tiba. Dini hari, pukul empat pagi, di hari pertemuan di KWI dan misa di GBK digelar, saya dapat whatsapp dari panitia. Saya untungnya terbangun. Pesan itu intinya, jurnalis yang terima whatsapp itu dapat akses ke pertemuan Paus dengan lembaga amal di KWI di lantai delapan pagi itu. Diminta menukarkan ID media dengan ID Panitia KWI yang bisa akses ke dalam ruang pertemuan dengan Paus. Sontak saya girang bukan kepalang, sempat mrebes mili.

Pagi itu, saya langsung mandi. Siapkan perangkat liputan. Saya bawa dua busana: batik buat ketemu Paus di KWI dan kaos buat misa di GBK setelah pertemuan di KWI. Pukul tujuh pagi harus sampai di sana karena ada screening paspampres.

Masih memakai batik lengan panjang, sebelum ganti kaos karena mau ke GBK. Berfoto bersama Bruder Sarju SJ.

Sampai di kantor KWI, “bencana” muncul lagi. Panitia tetap melarang saya ikut masuk ke dalam pertemuan dengan Paus. ID saya tak bisa ditukar. Saya menunjukkan whatsapp panitia. Tapi nihil. Saya hanya bisa masuk media center dan tak ikut pertemuan Paus. Saya merasa kena PHP lagi. Kecewa. Padahal saya sudah pakai batik lengan panjang.

Kepalang tanggung, saya naik ke lantai empat buat ngadem di media center. Di sana, beberapa jurnalis yang bernasib sama duduk-duduk sembari menyeruput kopi dan makan kudapan yang disediakan panitia. Setelah ngopi, saya memutuskan turun ke bawah karena bertahan di media center artinya tak dapat apa-apa. Malah saya berniat langsung ke GBK atau ikut warga yang menyambut Paus di pinggir jalan. Saya pun melepas pakaian batik saya dan menggantinya dengan kaos putih bergambar Paus Fransiskus yang saya beli di toko daring.

Omong-omong soal kaos ini, saya memang sangat niat. Saya ingin meleburkan diri dengan euforia umat lain dari banyak paroki di segala penjuru Indonesia yang memakai kostum bergambar Paus Fransiskus. Awalnya, saya beli satu kaos ukuran XL dan warna hitam. Sayangnya, kaos ini kekecilan untuk tubuh saya yang mulai gembul. Lalu, saya beli lagi di toko daring yang sama yang berukuran XXL sebanyak dua biji — satu warna hitam dan satu lagi putih. Desainnya sama persis. Saat misa, saya putuskan memakai kaos warna putih. “Paus Fransiskus saja berkostum putih, saya juga sebaiknya putih juga,” gumam saya.

Di halaman bawah gedung KWI, dekat pos satpam, beberapa wartawan sudah berkumpul di sana. Menanti Paus usai acara di Istiqlal. Saya ikut di kerumunan wartawan itu. Hati masih kecewa. Ingin segera meninggalkan gedung itu.

POV dari tempat saya dan wartawan lain menanti kedatangan Paus Fransiskus di kantor KWI. Jarak antara tempat ini dan lobi sekitar 20-an meter.

Saat berada di situ sembari menahan lapar karena belum sarapan, tiba-tiba seorang perempuan berkaos hitam, berhijab, berkalung ID Panitia KWI mencolek saya. Saya tak kenal perempuan itu. “Mas, yuk ikut saya. Mas pindah tempat saja ke lobi.” Lalu, ia mengantar saya lewat dalam gedung menuju lobi KWI. Hati saya melongo dan tak percaya. Herannya, cuma saya saja yang ditarik dari kerumunan wartawan itu.

“Mas, tunggu di depan lobi saja.” Saya berdiri depan lobi sebelah kanan. Sebelah kiri, ada uskup-uskup berdiri siap menjadi among tamu. Di kanan, saya ditemani dua fotografer profesional yang jadi dokumentasi resmi panitia.

Posisi saya di depan para uskup yang sedang menjadi among tamu. Siap menyambut Paus Fransiskus.

Sedekat Itu

Saya masih tak percaya. Tak seharusnya saya di depan lobi ini karena ID saya beda sendiri. Semua panitia, termasuk uskup dan dua fotografer tadi  ber-ID R0, sedangkan saya R1. Semua sudah di-screening, siapa berada di mana. Sempat dipertanyakan oleh paspampres Vatikan. Kata seorang panitia, posisi saya memang di situ. Paspampres Vatikan mengerti dan menyuruh saya tak ke mana-mana. Sampai sini, saya masih bingung. Saya merasa ini pelanggaran protokol. Apalagi untuk menyambut kedatangan tokoh dunia yang juga kepala negara Vatikan itu.

Bersama para uskup yang menjadi among tamu kedatangan Paus Fransikus. “Hayo, apakah bapak-bapak uskup ini sudah mengerjakan PR Paus Fransiskus?’ batin saya.
Bersama pasukan elit (paspampres) dari Vatikan yang berjaga di depan lobi KWI. Entah siapa namanya.

Seorang paspampres Indonesia sempat datang dan menyuruh saya dan dua fotografer harus bergeser dari tempat itu. Tapi, paspampres Vatikan justru menyuruh kami tetap berada di tempat. Saya lega. Saya berdoa Salam Maria agar saya tak diusir dari lobi itu sampai Paus datang.

Di lobi, entah kenapa suasana terasa nyaman. Rasanya seperti lagi tugas among tamu di hajatan rumahan saja. Saya sesekali ngobrol dengan para uskup itu. Mgr. Sunarko, Uskup Pangkal Pinang, yang jadi among tamu meminta saya memotretnya bersama para uskup lain. Usai motret mereka, saya ajak mereka selfie. Seorang paspampres Vatikan pun saya ajak selfie. Senyumnya ramah tak seperti paspampres Indonesia. Sampai sini, saya juga masih bingung.

Sampai akhirnya mobil Paus Fransiskus tiba. Persis di depan lobi. Paus turun mobil dan kemudian naik kursi roda. Saya benar-benar tak percaya pemandangan ini. Saya bisa menyambut dan melihat Paus Fransiskus dari jarak sangat dekat. Meski tak bisa salaman, saya bungah sekali melihat senyumannya, tatapannya, dan lambaian tangannya. Di jarak satu meter, saya menjumpainya.

Hati saya sangat terharu. Tapi, terasa ada nyala berkobar-kobar dalam diri saya. Saat Paus naik ke lantai delapan, saya tetap disuruh jaga di bawah oleh Paspampres Vatikan. Saya ambil kesempatan itu untuk foto di samping mobil Paus. Sementara para wartawan lain masih standby di jarak 20-an meter dari lobi.

Tatapan Paus Fransiskus dan senyumannya saat keluar dari dalam lobi kantor KWI membuat hati saya bergetar.
Lambaian tangan Paus Fransiskus saat menaiki mobilnya kembali membuat hati saya bergetar.

Paus turun gedung dan menuju mobil. Saya panggil-panggil namanya. Di mobil, ia menoleh ke arah saya, melempar senyum, sembari melambaikan tangan. Kembali hati saya meleleh haru sekaligus menyala senang.

Pengalaman saya ini mengingatkan akan kisah Injil yang dibacakan di misa Paus di GBK. Yesus meminta Petrus bertolak ke tempat dalam setelah semalaman tak mendapat apa-apa. Karena Yesus menyuruhnya, Petrus menebarkan jala di tempat dalam. Hasilnya, ia menangkap banyak sekali ikan sampai perahunya oleng.

Saya juga merasa ada di masa upaya sia-sia dan tak mendapat apa-apa. Namun, karena ada seorang panitia — perempuan berhijab, berkaos hitam, dan berkalungkan ID panitia — menyuruh saya pindah ke lobi (sebagai gambaran tempat dalam), akhirnya saya mendapatkan Paus. Paus Fransiskus yang selama ini saya rindukan.

Lewat tulisan ini, saya meminta maaf pada komite media. Sungguh, saya berada di lobi itu bukan kehendak saya sendiri. Seandainya saat itu tidak ada seorang panitia — perempuan berkaos hitam, berhijab, dan tak saya kenal — yang menyuruh saya pindah, saya tetap akan di tempat semula. Dan, kemungkinan segera meluncur ke GBK.

Ikut misa bersama Paus Fransiskus di GBK. Posisi di tribune media.

Saya sangat bersyukur. Maria memang tak pernah mengecewakan seperti yang sudah-sudah. Saya hanya meminta satu permohonan: bisa ikut misa Paus Fransiskus dan menerima berkatnya. Namun, Tuhan malah memberi saya sesuatu yang lebih dari itu. Sungguh berkelimpahan.

Sampai tulisan ini dibuat, saya masih bertanya-tanya tentang peristiwa tak masuk akal ini.

— Kebon Jeruk, 8 September 2024, Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria

_______________________________

Berikut video-video perjumpaan dengan Paus Fransiskus:

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

3 Replies to “Paus Fransiskus Sedekat Itu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *